BAB 2

10.4K 245 30
                                    

Tu sei via, sei verità 
Tu sei la nostra vita 
Camminando insieme a te 
Vivremo in te per sempre

Lirik berbahasa Italia ini akrab di telinga Benedict beberapa tahun yang lalu. Dia bukan seorang yang religius, tetapi dapat menyimpulkan bahwa Liliana adalah seorang Kristen yang cukup taat. Ringtone-nya saja lagu rohani.

Liliana Dermawan Lunggono membuat laki-laki mana pun mundur teratur. Bersyukurlah orang yang belum sempat berurusan dengannya. Tampak rapuh dari luar, nama besar di belakangnya menunjukkan siapa orang yang berdiri di belakangnya. 

Suami Liliana tidak akan tinggal diam jika istrinya diganggu. Dapat dipastikan selingkuhan sang istri memohon agar nyawanya dihilangkan saja ketimbang menanggung amukan Samuel Lunggono. Laki-laki itu tidak segan merenggut segala yang lawannya punya. Menghabisi tanpa ampun. 

Laptop Benedict baik-baik saja. Kalaupun rusak, dia akan memperbaikinya sendiri tanpa melibatkan Liliana. 

'Jesus Christ You are My Life' berhenti mengalun. Benedict melipat tangan di depan dada mendengarkan rinai air jatuh ke bumi. Hujan musim kemarau. Alam semakin tidak bisa diprediksi sebagaimana hati manusia. Pada siang hari mungkin saja matahari memancarkan sinar terik membakar kulit, malamnya hujan mengguyur deras disertai angin kencang.

Manusia pun demikian adanya. Detik ini tertawa, bercanda bersama, mengungkapkan kata penuh cinta, mengikrarkan diri sebagai sepasang kekasih lalu bersumpah setia sehidup semati. Siapa sangka pasangan yang tampak manis di depan publik akan berakhir saling menyakiti bahkan ingin orang yang dulu dicintai segera menghadap ilahi?

Benedict berjengit saat geledek menggelegar. Fokusnya terpecah. Dua jam lebih dia menghadap layar komputer untuk menjabarkan fakta-fakta hukum kliennya, seorang pengusaha start up digital yang tengah naik daun yang digugat cerai sang istri. Perceraian adalah hal biasa, kalau saja tidak melibatkan harta gono-gini miliaran rupiah. Panerai di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul 21.45.

Ruangan kantor firma hukumnya sudah kosong. Rekan-rekannya telah pulang beberapa jam yang lalu. Besok adalah akhir pekan. Para pengacara punya acara masing-masing kecuali Benedict. Dia tidak akan dapat tidur nyenyak jika pekerjaannya belum selesai. 

Laki-laki itu memijat pangkal hidung. Matanya lelah menghadap layar komputer. Pengacara dituntut bersikap profesional. Profesional di sini bermakna luas. Selain harus lebih banyak menggunakan logika dan menyingkirkan perasaan, dia juga diminta membunuh prinsip hidup.

Agama Benedict menentang perceraian. Apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia, begitu ayat Alkitab yang diukir pada undangan pernikahan. Namun tampaknya manusia terbiasa ingkar janji. Sumpah di hadapan Tuhan dianggap pemanis belaka yang bisa diganti sesuai keadaan. Jika orang-orang yang bersumpah saja menghancurkan sumpah mereka sendiri, lalu kenapa Benedict harus peduli? 

Pekerjaan ini mengajarkan menjadi seorang pengkhianat. Mengkhianati prinsip hidup demi uang. Setiap hari Minggu, Benedict mengikuti misa kudus di gereja. Agama di KTP tercantum Katolik, tetapi dia sudah lama hidup bagaikan ateis. Semua larangan Tuhan dia langgar kecuali membunuh.

Sebut saja dosa apa pun. Berbohong? Jangan ditanya. Lawan bicara tidak akan dapat membedakan kapan Benedict jujur dan kapan berbohong. Berzina? Oh, ini dosa favoritnya. Mencuri? Dia bisa mencuri tetapi dilakukan secara legal. Benedict sangat ahli menjadikan hal yang bukan miliknya bisa jatuh ke tangannya tanpa melanggar hukum.

Jemari kokoh itu menggerakkan tetikus, mengeklik ikon 'save' untuk menyimpan pekerjaannya. Dia membutuhkan sesuatu untuk menghangatkan tubuh. Alih-alih wedang jahe, Benedict mengambil sebotol wine dari lemari kaca di sudut ruangan. Dituangnya wine ke sebuah gelas kristal.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang