Bab 22

1.7K 68 7
                                    

"Kamu jahat!"

Liliana memalingkan muka, sudut bibirnya tertekuk, mengerut cemberut saat menghempas punggung. Kursi empuk mobil mewah Benedict seperti sekeras kayu. Liliana tidak nyaman dengan tatapan Benedict di sampingnya. Laki-laki itu memeluk kemudi, satu telunjuknya mengetuk permukaan setir bulat itu sembari tersenyum tipis.

"Jahat gimana?" tanya Benedict tertawa geli sambil menghidupkan mesin.

"Kamu menyiksa aku, Ben!"

Seringai jail itu lagi, Liliana melengos malu. Dia menyembunyikan rona merah di pipi dengan membuang wajah ke samping. Hutan bakau dari balik jendela seolah melambai meminta Liliana singgah. Taman Wisata Mangrove Pantai Indah Kapuk semakin ramai dikunjungi.

"Nyiksa? Siksaan membawa nikmat dong? Buktinya kamu merem melek sambil mendesah-desah."

Wajah Liliana merah padam. Mulut laki-laki ini perlu dijahit.

"Apa jangan-jangan ... kamu masih mau nambah?"

"Nggak, Ben. Kita sudah telat setengah jam lebih." Liliana berharap Arnold tidak meninggalkan lokasi janji temu mereka karena ulah Benedict.

"Lagian kenapa bikin janji di sana?"

"Aku sengaja, Ben. Itu kan lokasi proyeknya Arnold." Liliana membela diri. Toh lokasinya juga tidak jauh dari apartemen Benedict, cukup dengan tiga puluh menit berkendara. "Samuel pasti enggak akan nyangka kalau aku bakal ke daerah situ."

"Kenapa kamu mikir gitu, Lil?"

"Samuel pernah ngancam dia. Arnold juga tipe yang nggak mau cari masalah." Liliana bergidik membayangkan kejadian di mana pistol Samuel diacungkan ke kening sahabatnya sendiri.

"Apa sekarang dia sudah berani nyari masalah?" tanya Benedict ketus, tekanan pedal gas menguat, kecepatan BMW Benedict bertambah. Melaju lencang keluar ke jalan lingkar Barat.

Liliana bukan tidak tahu kegusaran laki-laki itu, tetapi dia memilih diam. Beruntung pengguna lalu lintas cukup bersahabat, Liliana tidak perlu olahraga jantung, entah yang kesekian kalinya sejal bertemu Benedict.

"Kamu tahu nggak, Ben, kalau dalam bahasa Tionghoa dialek Hokkien, Angke tuh artinya merah?" Liliana melirik saat laki-laki di sampingnya menghela napas. Kecepatan mobil Benedict menurun ketika melintasi Kantor Kejaksaan Jakarta Barat. "Dahulu, nenek moyang kami dibantai Belanda dan dibuang di sungai itu."

"Aku tahu, Lil."

Ben mengerang pasrah, dia tidak bisa berlama-lama marah dengan wanita ini. Suaranya terlalu merdu di telinga Benedict. Siapa yang tidak tahu kisah pembantaian di abad 17 itu? Benedict belajar sejarah, selama tiga hari VOC menghabisi moyang ibunya tanpa ampun. Warna sungai memerah karena darah etnis Tionghoa. Beruntung, beberapa masih sempat mengungsi, ada yang ke Manado, beranak pinak, sampai ke ibu Benedict.

"Mamaku masih ada darah Tionghoa."

"Oh, ya?" Mata Liliana membulat, dia menggeser bokong, tatapannya menyorot mencari kebenaran dalam raut wajah Benedict Andes. Tak ada tanda-tanda ras Asian-Mogoloid di sana. Gen Gilbert Andes lebih banyak mendominasi.

"Ya," ucap Benedict sembari mengangguk lantas mengembuskan napas lega. Benedict menepikan kendaraan di depan bangunan semi permanen, plang rambu safety first tertancap di samping papan nama proyek. Perusahaan pribadi Arnold Tanoto memenangkan tender pemerintah daerah sebagai pelaksana pembangunan turap di tepi sungai Angke.

Proyek bernilai miliaran demi mencegah banjir. Dua bulan yang lalu, banyak wilayah di sekitarnya terendam karena Kali Angke meluap. Retaining wall, atau dinding-dinding yang gunanya untuk menahan pergerakan lateral tanah. Angka yang fantastis menurut Benedict, banyak pihak yang diuntungkan, tetapi sudahlah, bukan urusannya.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang