Bab 18

3.2K 101 4
                                    

Sebelum berangkat ke selatan Jakarta, Benedict mengeluarkan laptop lama. Merek Toshiba dan berukuran sangat besar. Unit apartemen ini sunyi. Terkadang terdengar tangisan bayi dari unit sebelah. Benedict tidak memperkenalkan siapa yang tinggal di kanan dan kirinya karena tidak kenal. Seindividualistis itulah Benedict. Relasi yang dia jalin sebatas pekerjaan.

Liliana tak ambil pusing dengan pergaulan Benedict. Keberadaan laptop sudah cukup menggembirakannya. Liliana dapat membunuh waktu dengan menumpahkan khayalan. Ditemani deru ombak dan angin laut, ide Liliana mengalir lancar.

Liliana meregangkan otot pada jam makan siang. Ponsel jadul pemberian Benedict tergeletak di meja kerja. Liliana tidak bisa memesan makanan dari Gofood.

Liliana keluar dari kamar menuju dapur. Benedict benar. Kulkas penuh bahan makanan. Sayur, buah, daging, ayam, seafood, sosis, telur, lengkap. Benedict bilang bisa untuk satu minggu. Dia bercanda. Liliana bisa buka restoran bermodalkan ini semua.

Lemari dapur sama penuhnya. Saat dibuka, dua bungkus mie instan jatuh. Benedict menjejalkannya meskipun tidak muat. Liliana terharu. Benedict memperhatikan dirinya dan mencukupi kebutuhannya meskipun mereka belum lama saling mengenal.

"Di mana resepnya?" Liliana mencari-cari buku atau apa saja yang dapat dijadikan contekan mengolah bahan makanan mentah ini. Dia tidak bisa memasak. Rasa masakan Mbak Pur terlalu istimewa sehingga dia pikir tidak perlu belajar masak lagi. Mbak Pur menemaninya sejak kecil sampai Liliana tak kepikiran suatu hari mereka akan berpisah. Di rumah Samuel ada asisten rumah tangga. Rasa masakannya tidak seenak Mbak Pur, tetapi bisa dimakan. Sekarang Liliana menyadari kebodohannya yang hanya berkutat dengan dunia menulis sehingga tak mempelajari keterampilan lain.

Liliana menyesal tidak mempelajari ilmu bisnis lebih serius. Penerbitan cetak sekarang sepi. Mulanya Liliana menyangkal kenyataan bahwa penjualan novelnya tidak selaris dulu. Dia pikir editornya kurang becus mengedit naskahnya. Liliana berpindah ke penerbit lain. Hasilnya tak jauh beda. Royaltinya yang hanya 10% dari harga jual buku semakin merosot dari bulan ke bulan sampai dia kaget sendiri saat di rekening tabungannya hanya tertera angka Rp. 2 juta, jauh di bawah royalty lima tahun lalu yang mencapai puluhan juta. Ini pasti konspirasi. Penerbit menggelapkan royaltinya.

Liliana bertahan dua tahun menerima royalty yang tidak seberapa. Toh dia tidak kekurangan uang. Samuel mencukupi kebutuhan materi. Namun tahun lalu Liliana terpikir mengumpulkan uang untuk berpisah. Entah bagaimana caranya dia membayar denda sesuai perjanjian pra nikah. Pada titik itulah Liliana sadar tidak dapat mengandalkan royalty penerbit cetak lagi.

Liliana bertanya pada teman-temannya, rupanya mereka mengalami hal yang sama. Para penulis menyarankannya melupakan penerbit mayor yang besar gengsi tapi minim royalty. Tanpa sepengetahuan Samuel, Liliana bergabung dengan grup chat penulis. Dia mendapatkan informasi bahwa platform menulis online menawarkan royalty melimpah, 30 sampai 90%. Angka fantastis yang tidak Liliana percayai.

Dia paham kenapa penerbit mayor hanya memberi bagian 10% untuk penulis. Ada editor, ada alustrator, belum lagi desainer sampul yang harus digaji. Karyawan penerbit mayor itu banyak sekali. Toko buku meminta bagian sampai 40%. Belum lagi ongkos cetak yang semakin melambung. Harga kertas kian mahal. Jadilah penulis novel cetak hanya mendapatkan remah-remah.

Lalu bagaimana platform menulis bisa demikian murah hati? Salah satu temannya menyarankan untuk terjun saja dan jangan banyak bertanya. Di tengah pikiran skeptis, Liliana terus mencoba menjadi penulis platform. Dia belajar dengan tekun, mengikuti kelas menulis. Mempelajari seluk beluk menulis di platform yang ternyata jauh berbeda dengan menulis novel cetak. Ilmu dari editor di penerbitannya dulu terasa basi. Pembaca novel digital ternyata mudah bosan. Mereka menyukai konflik di bab awal.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang