"Kamu sudah banyak menolongku, Ben. Jangan seperti ini."
Benedict melirik Liliana dari kaca spion, wanita itu mendekap tote bag dengan erat. Tak sedikit pun penyesalan tersirat dari wajahnya, Liliana sedang mengibarkan bendera perang pada suaminya. Benedict tidak bodoh, untuk berjaga-jaga dia menyimpan salinan bukti kecurangan Samuel lewat tangkapan kamera mini yang biasa dia bawa.
"Kamu janjian dengan Leander di mana?" Benedict memelankan kendaraan, lampu merah memintas perjalanan mereka. Suasana lalu lintas Jakarta cukup bising siang ini, padat merayap, kaca tebal CRV Benedict seolah tidak mampu meredam hiruk pikuk pengguna jalan.
"Macet, ya?" Liliana menoleh pada barisan mobil yang berjejalan.
"Hmmm," balas Benedict.
Itulah Indonesia, budaya antre teramat sulit untuk dilakukan penduduknya. Tidak sabaran. Semua berlomba ingin saling mendahului. Badan jalan yang seharusnya hanya muat untuk empat kendaraan bertambah, mengular dalam antrean panjang. Akibatnya suara klakson bergantian, bersahutan, memekakkan telinga.
Liliana mengeluarkan ponsel dari dalam tas mencari nomor Leander.
"Halo, Le. Ini Liliana. Aku sudah mendapatkan dokumen yang kamu minta." Liliana terdiam mendengar sahutan dari seberang panggilan.
"Setu Babakan, ya? Baiklah, sampai ketemu di sana."
Liliana memutus panggilan, menatap Benedict dari pantulan kaca lantas tersenyum.
"Kita ke Setu Babakan, ya, Ben."
"Ok," jawab Benedict ikut tersenyum, sorot bahagia Liliana menularinya, meski dia sedikit bingung kenapa Leander memilih Setu Babakan sebagai tempat pertemuan. Mobil Benedict melaju mengaspal jalanan Jakarta yang padat. Halte Cipedak penuh sesak menanti bus saat New-CRV Benedict melintas. Tidak lebih dari lima menit, mobil mewah itu memasuki lahan konservasi. Leander berpesan untuk menunggu di parkiran.
"Yakin di sini?" Benedict lagi-lagi memasang mode waspada, meski Liliana tidak menunjukkan kekhawatiran.
"Samuel nggak mungkin ke sini, Ben. Jangan khawatir." Liliana celingukan dengan alis berkerut, tetapi sorot matanya lantas berbinar saat orang yang dinanti memarkirkan motor di samping mobil.
"Ben, aku ingin bicara berdua dengan Leander."
Benedict mengangguk lalu keluar dari mobil, memberikan privacy pada Leander dan Liliana.
"Le, ini bukti kecurangan Samuel saat tender PUPR. Dia menyuap oknum Kementerian demi memenangkan tender." Liliana mengeluarkan dokumen setebal bantal dari dalam tote bag bersamaan dengan Leander menghempas punggung di sandaran jok. "Saya tidak tahu hubungannya dengan Joy, itu bisa kamu cari sendiri. Tapi kalau dilihat dari tanggal terbit giro ..." Liliana menjeda kalimat, kembali mengingat kejadian enam tahun lalu. "... sepertinya bertepatan saat Joy mengawal klien di Jogja."
Leander mengangguk, paham dengan penjelasan Liliana. "Baik, Bu. Terima kasih atas bantuannya."
"Itu juga bertepatan dengan kematian senior kamu, kan?" tanya Liliana hati-hati, banyak ingatan berkelebat di kepalanya. Ya, Joy pernah bercerita kejadian di Ritzo Cafe. Terlalu lama berada di bawah siksaan Samuel membuat otak Liliana buntu, sampai melupakan banyak hal. Liliana menghela napas saat mendapati air muka laki-laki di sampingnya berubah keras. "Saya yakin, Joy sama sekali tidak terlibat dengan kematian senior kamu itu."
"Baik, Bu, saya permisi."
Leander membuka pintu, kaki laki-laki itu sudah turun sebelah, tetapi terjeda oleh kalimat Liliana.
"Joy itu nggak bisa pakai kode-kode, sebaiknya kamu tanyakan langsung padanya. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang sama."
"Siap, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SWINGER CLUB
RomanceLiliana Dermawan dan Benedict Andes bertemu di Swinger Club. Liliana dipaksa Samuel, suaminya untuk melakukan hubungan terlarang dengan Ben, sementara itu Samuel berhubungan dengan Chika, tunangan Ben. Pertemuan singkat pada malam itu tidak selesai...