Bab 29

542 48 2
                                    

[Liliana 03.05: Jemput aku. Aku nunggu di lorong sebelah.]

Astaga! Pesan Liliana masuk pukul tiga dini hari disusul panggilan berkali-kali. Mungkin sepuluh kali? Benedict malas menghitung, dia sontak menoleh ke dinding, jarum jam di sana menunjuk ke angka tujuh. Semalam, dia tidak pulang ke apartemen. Setelah bertemu klien, Benedict menurut saat Gilbert menawarkan malam di istananya. Alasan klise, mamanya kangen. Sudah lama tidak bertemu putra semata wayang.

"Sial!" Benedict buru-buru menyingkap selimut, melangkah lebar ke kamar mandi.

Dulu, Chika menganggapnya laki-laki aneh yang suka mandi berjam-jam layaknya wanita. Sekarang, anggapan Chika tidak berlaku. Cukup sikat gigi, menyabuni seluruh tubuh lantas membilasnya cepat. Tidak ada waktu untuk perawatan, Benedict harus bergegas.

Tanpa banyak waktu, dia berpakaian lantas keluar kamar. Meraih kunci mobil di dalam lemari lalu berderap cepat ke garasi, mengabaikan panggilan papanya, serta tatapan aneh mamanya. Sesekali membuat Gilbert Andes penasaran, tak apa.

Mobil mewah Benedict menggerung meninggalkan halaman, menyisakan gema di sepanjang jalanan komplek. Berkali-kali dia menghubungi Liliana, nomor wanita itu tidak dapat dia hubungi. Benedict membuka dashboard, meraih ponsel lawas yang biasa dia gunakan untuk berkomunikasi. Sama saja, nomor selular Liliana juga tidak aktif. Kemana dia?

"Sial!" Benedict memukul setir. Bisa-bisanya dia ketiduran semalam. Dia bahkan menyetel alarm tengah malam, kenapa tidurnya nyenyak seperti mayat? Benedict memasang perangkat jemala di dasbor lantas memasang ear bud. Lagi-lagi panggilannya dijawab mesin otomatis.

Hari ini Minggu, Benedict tidak mungkin ke rumah Samuel. Laki-laki itu tahu kebiasaan Benedict setiap akhir pekan. Bisa gawat kalau Samuel mencurigainya. Lantas ke mana dia harus mencari Liliana? Atau Liliana ke rumah sakit Joy dirawat? Tidak, tidak! Benedict menggelengkan kepala. Tidak mungkin Liliana tiba-tiba muncul di pagi buta, sementara Joy sudah bisa pulang hari ini.

Persembuyian terbaik adalah tempat yang tidak terduga. Mengingat ucapan papanya saat mereka bermain petak umpet dulu,Benedict sontak membanting setir. Tidak sampai seratus meter melewati Adhi Karya, New-CRV miliknya masuk tol Simatupang, melaju bersisian dengan pengguna jalan lain memintas Pasar Minggu, lantas belok kiri MT Haryono. Dalam hati Benedict berharap Liliana pulang ke apartemennya.

Decit ban menapak konblok parkiran terdengar memilukan, tergesa Benedict turun dari mobil, berderap gegas menuju lift. Kapsul transparan itu mengantar Benedict ke lantai di mana unitnya berada.

Tergesa, Benedict menekan password. Pintu unitnya terbuka perlahan, perasaan Benedict tidak enak saat matanya menangkap sosok Liliana tergeletak tidak bergerak di sofa. Kecemasan sontak meremas hatinya, Benedict melangkah pelan, menganga sesaat sebelum akhirnya mengembuskan napas lega. Dada mungil wanita itu turun naik teratur, dengkuran halus menyapa telinga.

"Lil ...." Benedict menepuk pipi Liliana. "Kamu baik-baik saja, kan?"

Liliana menggeliat sembari memicingkan mata. Kedua alisnya mengerut, mata wanita itu terbuka setengah. Meski penampilan Liliana acak-acakan, tetapi di mata Benedict selalu memesona. Terlebih saat telanjang, Benedict tertawa dalam hati. Mungkin otaknya sedikit bergeser setelah kejadian di Swinger Club dan malam-malam panas bersama kemarin, entahlah. Benedict hanya ingin selalu dekat dengan Liliana.

"Ben?" Liliana benar-benar membuka mata, buru-buru duduk lantas mengelap liur di sudut bibir lalu mengekeh lebar. "Hai! Sorry, aku masuk tanpa izin," ucap Liliana serak.

"No!" Benedict duduk di samping Liliana. "Aku yang minta maaf, udah bikin kamu nunggu."

"Enggak masalah, toh aku bisa ngorder ojol. Aku yakin kamu ketiduran karena whatsapp-ku enggak di-read." Mata Liliana berkilat nakal, "Atau semalam kamu ah uh ah uh sama wanita lain, ya? Mumpung Chika lagi di luar negeri."

"Enggak, aku tidur di rumah," jawab Benedict pendek. Harusnya dia jujur kalau dia terang-terangan menjauhi Chika sejak Swinger Party kemarin? Wanita di sebelahnya bersenandung saat berdiri.

"Aku mandi dulu, bergetah, gerah banget."

Loh? Loh? Benedict memijat pelipis. Maksud kata bergetah itu bagaimana? Membayangkan Liliana pulang ke rumah Samuel saja sudah membuat darahnya menggelegak. Bagaimana mungkin wanita ini tampak biasa saja? Apa yang terjadi di sana. Benedict penasaran.

Benedict melirik tote bag Liliana, tas persegi panjang itu tidak terlalu gemuk saat dia menurunkan Liliana di jalan. Benedict memantakan hati ketika mendengar bunyi gemericik air dari kamar mandi. Perlahan, jarinya menyingkap tas.

Uang puluhan juta rupiah terikat rapi. Dokumen tebal dalam folder bantex bertuliskan confidential di sudut kiri bersandingan dengan logo PT Inti Baja. Benedict mengusap wajahnya kasar ketika membaca lembaran demi lembaran file lantas menyusunnya di atas meja.

Tender suplai baja dari Kementrian PUPR enam tahun lalu. Dokumen perjanjian dengan perusahaan penyedia jasa keamanan. Mata Benedict melotot saat melihat salinan giro senilai milyaran rupiah atas nama seorang petinggi negeri.

Gosh! Samuel menyuap pejabat untuk memuluskan tender. Pantas saja, dia berhasil memenangkan kontrak suplai dari Mega Baja. Samuel bahkan memberikan uang tutup mulut untuk perusahaan tersebut. Benedict bergidik, mengingat project itu bahkan belum selesai dengan alasan kendala tata guna lahan.

"Gimana? Aku berhasil kan?"

Benedict terkinjat, Liliana muncul dalam balutan jubah mandi, handuk kecil melilit di rambut basah mengekspos leher jenjang yang dipenuhi jejak lebam kebiruan. Benedict sontak berdiri, melangkah gegas mendekati Liliana. Wanita itu mundur, punggungnya bertemu dinding.

"Ben?"

"Apa yang dia lakukan padamu?" Benedict menggeram, meradang. Wajahnya diliputi amarah, kepalan tangan menguat di sisi tubuh. Dia benci dirinya, terlalu lemah sampai tidak bisa menjaga wanita ini dengan baik.

"Hah? Dia? Dia siapa?" Liliana linglung, terlalu kaget dengan reaksi Benedict. Dia berjengit, bersamaan dengan tinju Benedict menghantam dinding di sebelahnya.

"Jesus! Kamu berdarah, Ben." Liliana mengomel, meraih telapak tangan lebar itu lantas mencengkeram pergelangan tangan, menarik pria itu kembali duduk di sofa. "Jangan bergerak!" Liliana keluar kamar, tidak lama. Wanita itu kembali dengan kotak P3K. Liliana membersihkan luka dengan alkohol. Benedict meringis.

"Kamu sih, ngapain coba ngelakuin itu?" Liliana mengoleskan salep, meniupnya perlahan lantas merekatkan plester luka. "Kenapa kamu jadi emosi gini sih, liat dong!" Liliana menunjuk dokumen.

"See .... Aku berhasil mengumpulkan bukti kebusukan Samuel. Harusnya kamu senang, bukannya malah gabut begini?"

Benedict mendengkus sebal, dia memang bodoh, terlalu bodoh sampai tidak mampu berkata jujur. Benedict menyadarkan kepala ke bahu ramping Liliana, jemarinya terulur, meremas tangan mungil wanita itu.

"Maafkan aku," tutur Benedict penuh penyesalan. "Aku hanya bisa ngebantuin kamu seperti ini."

"Kamu tetep bisa bantuin aku, Ben."

"How?" tanya Ben parau, wajahnya masih tenggelam di leher jenjang Liliana, menghidu aroma sitrus kesukaannya.

"Jadilah pengacaraku, Benedict Andes. Bantu aku bercerai dari Samuel Lunggono."

 ***

Akhirnya Liliana cerai juga. Apakah Samuel bakal melepaskannya dengan mudah?

Tunggu update selanjutnya. Yang nggak sabar nunggu, silakan ke Karyakarsa. Swinger Club dan The J8 bisa didapatkan dengan paket bundel hanya Rp. 29K saja untuk 2 novel sampai tamat.

Love,
💋 Bella - WidiSyah 💋






SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang