SEPULUH TAHUN YANG LALU (2)

1.4K 74 7
                                    

Kelas Pak Ino sore ini menguras energi. Giliran kelompok Liliana maju mempresentasikan paper yang telah dibuat dua minggu yang lalu. Semua isi paper dikerjakan Liliana sendirian. Teman-temannya titip nama lalu hilang ke mana. Liliana tidak keberatan riset, membaca, dan menulis karena ini pekerjaan yang dia senangi. Sekalian riset untuk novel terbarunya.

Akan tetapi untuk presentasi, dia tidak berkompromi. Liliana menolak disuruh bicara di depan umum. Se-introvert itu dirinya. Bahkan hanya menyaksikan teman-teman satu kelompoknya menjelaskan materi di atas panggung, lalu dibantai secara bergantian oleh mahasiswa lain dan dosennya pun sudah menguras energi Liliana. Segelas es teh peach boba sepertinya akan menyegarkan.

Kios teh kekinian itu dipadati mahasiswa. Antriannya mengular. Liliana melirik jam di Blackberry-nya. Pukul 4, hampir setengah lima. Samuel belum menghubunginya. Mungkin tunangannya itu lupa sudah membuat janji. Liliana terbiasa diabaikan. Status resminya adalah tunangan orang, tetapi tidak ada bedanya dengan saat menjomblo.

"Teh peach boba, Mbak. Minta ekstra es." Liliana mengucap pesanaannya setiba di depan konter.

"Maaf, Kak. Sudah habis. Kita mau tutup."

Liliana tertegun beberapa saat. Hampir satu jam mengantri dan tidak mendapatkan apa-apa. Ketika menoleh ke belakang, dia menyadari bahwa dirinya adalah orang terakhir di barisan. Lemah letih lesu, Liliana berbalik dengan perasaan kecewa.

"Buat kamu." Sebentuk tangan terulur. Bukan tangan kosong tetapi menyodorkan es teh peach boba. Esnya mencair. Gelasnya sudah tidak terlalu dingin, tetapi ini minuman favorit Liliana.

"Terima kasih." Liliana menengadah untuk melihat siapa gerangan makhluk yang menyelamatkan sisa harinya. "Samuel?"

Lama tak bertatapan muka dengan Samuel, Liliana merasa banyak perubahan terjadi pada tunangannya ini. Wajahnya lebih tirus, kulitnya lebih putih, dan ada uban di kepala samping. Samuel tampak tua.

"Kamu baik-baik saja?" Liliana mendekat. Miris, padahal mereka tinggal satu kota. Apa susahnya Samuel menyisihkan waktu agar mereka dapat bertemu.

"Nggak terlalu. Aku butuh liburan. Kamu mau ikut kan?"

Liliana mau saja. Malah dia senang Samuel berinisiatif mengajak liburan. Tetapi ada satu ganjalan.

"Aku kuliah," kata Liliana.

"Oke. Nggak pa-pa. Aku berangkat ke Lembang sendiri."

Samuel berbalik. Kenapa sikapnya jadi begini? Dingin dan tak acuh. Liliana bingung. Apa salahnya hingga layak diperlakukan seperti sosok yang tidak diinginkan.

"Sam, tunggu!" Liliana tergopoh mengejar Samuel yang sudah berjalan ke parkiran. "Aku ikut, Sam."

Seulas senyum singgah di wajah itu. Liliana selalu senang jika berhasil menyenangkan Samuel. Rasanya memenangkan kompetisi internasional.

"Aku pulang dulu ambil pakaian ganti ya."

"Nggak usah. Aku sudah beli baju buat kamu." Samuel mengulurkan tangan untuk menggandeng Liliana. Seketika hati Liliana berbunga-bunga. Samuelnya telah kembali. Dia menyambut tangan itu, berjalan bergandengan tangan menuju mobil.

***

Hermanto mengiakan dengan mudah saat Samuel meminta izin mengajak Liliana berlibur selama beberapa hari di Lembang. Keluarga Lunggono dan Dermawan telah terikat perjanjian yang mengunci kepentingan masing-masing. Sulit bagi semuanya untuk mundur dari perjanjian itu. Dendanya sangat besar. Kalau Samuel sampai melakukan sesuatu pada Liliana lalu putrinya hamil, pernikahan akan dipercepat. Bagus sekali, sesuai rencananya.

"Den Sam!"

Perempuan berdaster batik khas sunda dengan ciput tanpa hijab membungkus rambut keluar dari villa di atas bukit. Liliana menghirup napas dalam-dalam membiarkan kesejukan menerobos masuk membersihkan paru-parunya dari polutan selama di Jakarta.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang