BAB 11

2.8K 102 8
                                    

Liliana terlahir dari keluarga berada, dibesarkan dengan kekayaan melimpah. Lingkaran pergaulannya semua orang mampu. Pacar pertama yang menjadi suaminya punya segunung harta. Seharusnya Liliana terbiasa menyantap hidangan mewah kualitas restoran fine dining. Lalu kenapa lahap sekali menyatap bubur ayam hambar? Dia sampai berdecap puas.

"Enak banget. Aku belum pernah makan bubur ayam seenak ini. Apa boleh minta lagi?" Liliana bertanya sembari menatap Benedict.

Benedict tak tahu harus menjawab apa. Kalau yang mengucapkan pertanyaan tadi adalah pengemis di pinggir jalan, reaksinya tidak akan begini. Diam membeku dengan mata membelalak tanpa berkedip. Seingatnya, menu di semua rumah sakit sama saja, pelit garam, pelit bumbu.

Pernah karena kesalnya pada salah satu rumah sakit yang merawatnya, Benedict berencana menyomasi. Bagaimana tidak kesal? Bayangkan saja, saat terkena tipus, Benedict memilih satu rumah sakit yang katanya terbaik di Jakarta. Pilihan menunya banyak, malah ada sirloin steak dan mashed potato. Fancy sekali kan. Air liur Benedict mengumpul di bawah lidah hanya karena melihat foto daging panggang berlumur saus jamur dan kentang tumbuk. Tanpa pikir panjang dia meminta menu itu untuk makan siang. Betapa kecewa ketika yang datang justru daging pucat dengan saus dan kentang minim rasa.

Otak Benedict terlatih untuk berprasangka buruk. Dia memegang teguh ungkapan Thomas Hobbes yang pertama kali diketahuinya saat kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Filsuf itu mengatakan dalam buku yang berjudul Leviathan, homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi manusia lain. Jadi jelas kan rumah sakit berkonspirasi menciptakan menu tidak enak agar pasiennya malas makan dan tidak cepat sembuh sehingga lebih lama dirawat?

"Tidak ada makanan rumah sakit yang enak," sahut Benedict skeptis setelah berhasil menguasai diri. "Aku malah berpikir mau menggugat rumah sakit ini karena menyajikan makanan seperti ini."

"Seperti apa memangnya?" tanya Liliana.

"Seperti muntahan bayi."

Liliana terkekeh pelan. Matanya menyipit dan bibirnya terangkat. Hanya sesaat tetapi menghangatkan. Benedict benci melihat wajah penuh kepedihan itu.

"Serius deh, Benedict. Ini enak."

Benedict meletakkan mangkok kosong di atas meja. Dibantunya Liliana makan buah potong.

"Samuel panik mencari kamu. Apa kamu nggak mau ketemu suamimu?" Benedict tidak memperpanjang obrolan mengenai menggugat rumah sakit. Ada hal lain yang mengusik rasa penasarannya.

Gelengan Liliana menguatkan prasangka Benedict. Tidak mungkin seorang istri takut bertemu suaminya sendiri kalau tidak ada apa-apa.

"Aku mencari kamu bukan untuk balik sama Samuel." Liliana menyahut setelah menelan potongan melon.

"Jadi?"

"Untuk pertama..." Liliana memandangi Benedict beberapa detik, lalu berhenti bicara.

Benedict biasa kontak mata dengan berbagai macam manusia. Dia selalu menatap balik penuh percaya diri. Namun ada yang berbeda dengan tatapan Liliana. Sekarang Benedict dikungkung rasa bersalah.

"Tolong jelaskan yang terjadi di antara kita," pinta Liliana dengan berat hati.

"Apa kamu benar-benar nggak ingat semuanya?" Benedict balas bertanya.

"Aku ingat kita ketemu saat aku makan spaghetti. Setelah itu..."

"Aku menidurimu," jawab Benedict langsung.

Bibir Liliana separuh membuka. Benedict pikir wanita itu akan menamparnya. Dia sudah bersiap.

"Cuma kamu saja?" tanya Liliana.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang