Bab 41

502 41 8
                                    

Benedict masih betah di ruangan kerjanya meski jam di dinding menunjuk ke angka sepuluh lebih tiga puluh menit. Dia belum bertemu Gilbert lagi setelah tadi pagi. Papanya belum bercerita banyak, laki-laki itu hanya memberikan banyak pekerjaan untuknya, semuanya membikin kepala Benedict cenat-cenut. Sengketa lahan milik perusahaan tambang nikel di Morowali cukup menguras otak dan pikirannya. Dia bahkan lupa ingin menghubungi Liliana.

Euforia melingkupinya saat mendengar pertunangannya dan Chika dibatalkan oleh Efraim. Akhirnya, sesuatu hal yang ingin sekali dia revisi benar-benar terwujudkan. Ah ya, dia juga ingin membicarakan laporan Liliana yang belum ada tanggapan sama sekali. Bukan tidak mungkin, Samuel memiliki kaki tangan di Polda Metro Jaya. Laporan KDRT Liliana dicekal sebelum sampai ke meja penyidik.

But how? Bagaimana caranya menghubungi wanita itu? Mereka sudah kedapatan Samuel bermain api. Masih bagus laki-laki itu tidak menghabisi mereka berdua. Yah, nama besar Gilbert Andes sebagai kawan baik Daud Lunggono masih punya kuasa melindunginya. Benedict mengurut belakang lehernya, tegang dan kaku sekali. Apa yang sedang Liliana lakukan di sana? Apakah wanita itu sedang memikirkannya? Atau malah sedang melayani nafsu binatang suaminya? Tubuh Benedict sontak meremang, kedua rahangnya mengetat kuat, membayangkannya saja dia mual.

Lampu line telepon di samping laptop berkelap-kelip menandakan ada panggilan masuk. Kedua alis Benedict mengerut, mengumpul di tengah dahi. Siapa yang menelepon? Otaknya sontak mengembara, membumbung angkasa lalu berhenti pada sebuah nama, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Apakah Liliana? Buru-buru, Benedict meraih gagang telepon. Namun, Benedict harus menelan kecewa saat mengetahui suara siapa di ujung panggilan.

[Pak Ben! Lama banget!]

Wanita itu Ratna, resepsionis HAD Law itu mendengkus kasar saat panggilan tersambung. Lagi-lagi Benedict mengerutkan alis sambil melirik panerai di pergelangan tangan.

"Iya, Rat? Kenapa belum pulang?" tegur Benedict lembut. Andai dulu Gilbert Andes tidak mewanti-wanti tidak menjalin hubungan dengan sesama rekan kerja, mungkin wanita ini akan menjadi salah satu dari daftar panjang teman tidurnya.

[Gimana mau pulang kalau Bapak masih ada di kantor.]

Benedict tergelak, lalu mengembuskan napas panjang. "Biasanya juga ditinggal."

[Ih, bukan Pak Ben.]

Di seberang panggilan, Ratna diam sembari mengatur napas. Embusannya nenderu di telinga Benedict. Dia yakin, di lobi lantai satu sana Ratna sedang mengerucutkan bibir sembari mengipasi wajahnya yang memerah. Terdengar Ratna berdeham pelan lalu melanjutkan ucapan.

[Pak Gilbert masih berkantor di lantai delapan, Pak Ben.]

"Hah? Serius?" Benedict menegakkan punggung. Kebingungan sontak menyapanya tiba-tiba.

Gilbert orang yang menghargai waktu, jam kerja dimulai dari pukul 8 pagi dan berakhir di jam 5 sore. Selebihnya akan dia habiskan di rumah bersama istri tercinta, kecuali jika ada meeting mendadak. Benedict melirik to do list di layar laptop. Lantas kenapa seorang Gilbert Andes masih betah berada di ruangannya? Menunggunyakah? Banyak tanya bergantian muncul, berseliweran di dalam otaknya.

[Pesan Bapak, Pak Ben diminta ke ruangannya kalau udah selesai.]

Benedict mengembuskan napas panjang, tangannya terulur meraih tetikus kemudian mengeklik ikon power off di sudut kiri bawah.

"Ya sudah, saya ke ruangan Bapak sekarang." Benedict bangkit dari kursinya, memasukkan dompet dan perangkat jemala di saku celana. "Kamu juga pulang sana."

[Baik, Pak Ben. Makasih, ya.]

Benedict meletakkan gagang telepon saat Ratna memutus sambungan. Dia berderap cepat keluar ruangan lalu melangkah panjang ke sisi Timur HAD Law. Beberapa lampu sudah padam ketika langkah kakinya menyusuri selasar di depan ruang meeting. Kursi-kursi tertata rapi menghadap meja panjang, tampak dari luar partisi kaca transparan. Tungkai panjangnya memelan hingga benar-benar berhenti di depan ruangan paling ujung. Dia menahan napas saat matanya bertubrukan dengan kayu jati hitam dipelitur. Papan nama Gilbert Andes selaku Managing Partner terpahat rapi di sana.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang