Bab 34

668 53 9
                                    

Samuel ke kantor pagi-pagi sekali, meninggalkan Liliana dengan muka lebam tak berbentuk. Liliana bangkit dari baringnya sambil menahan sakit, bukan hanya perih di selangkangan, tetapi juga di dubur. Samuel memang tidak memasukinya lewat anal, tetapi mainan seksual yang disiapkan laki-laki itu tidak tinggal diam, menghunjam dengan kecepatan penuh. Semalam, Liliana sampai berharap nyawanya direnggut saja. Dia sudah tidak tahan hidup.

Liliana berjalan ke kamar mandi, langkahnya terseok, tersaruk-saruk. Meski berpengangan pada birai sepanjang dinding kamar, beberapa kali dia terjatuh. Liliana meringis saat air hangat menyentuh permukaan wajahnya. Jemarinya bergerilnya mengikuti setiap ruas tulang yang menonjol, dari pipi sampai rahang lalu meneruskan usapan ke leher kemudian berakhir di tulang selangka. Liliana mengguyur tubuh telanjang penuh lebamnya sembari menggigit bibir bawah, kemudian menyabuni lalu kembali membilasnya dengan air hangat.

"Holy, Jesus!" Liliana memekik kecil disertai isakan pedih. Liliana menarik bathrobe, bahkan bahan lembut jubah mandi itu terasa menyakitkan saat bertemu permukaan kulit Liliana. Andai saja dia tidak menuruti keinginan nafsu sesaat, dia mungkin tidak akan berakhir mengenaskan seperti ini. Samuel akan tetap menjadi laki-laki yang baik hingga sekarang.

Liliana meraih tote bag-nya di lantai, beruntung sekali Samuel tidak memeriksa isi tanya, ponsel jadul pemberian Benedict pun selalu disetel dalam mode senyap. Laki-laki itu hanya terus melampiaskan nafsu bejatnya sambil terus menyakiti. Bukan desahan sensual yang menguar di kamar mereka, dinding ruangan ini seperti menjadi saksi teriakan kesakitan Liliana dan tawa puas membahana Samuel. Laki-laki itu mungkin tidak berhenti jika dia tidak kehilangan kesadaran yang membungkamnya sampai pagi.

"Ben ...," bisik Liliana pelan sembari mendekatkan ponsel jadul itu ke pipi. Entah berapa banyak panggilan tak terjawab laki-laki itu, Liliana tidak sempat menghitung. Dia hanya langsung menghubungi Benedict.

[Halo, Lil, kamu ... baik-baik saja, kan?]

"Ng-gak ...." Liliana terisak mendengar suara tegas Benedict, tetapi selalu lembut di telinga Liliana. Astaga ... dia merindukan perhatian laki-laki itu. Rasanya ingin sekali bertemu, tetapi bagaimana caranya?

[Ssst ... jangan menangis, Cantik. What can I do for you? Kidnapping you from hell, huh?]

Tangis Liliana semakin menjadi ketika Benedict ikut berbisik seolah laki-laki itu tahu penderitaannya.

"Aku ingin melaporkan semua yang dilakukan Samuel padaku, but how?"

"Calm down, Baby. Ssst ... coba cek pintu kamar.]

Liliana bergerak mengikuti instruksi Benedict, dia membawa langkahnya, berjingkat mendekat ke pintu.

[Apakah dikunci?]

"Ng-gak," jawab Liliana sambil menggeleng

[Good girl, kamu berani keluar rumah?]

Liliana mengangguk kemudian dia sadar Benedict tidak sedang melihatnya, dia lalu menjawab pertanyaan laki-laki itu. "Ya."

[Kalau begitu bersiaplah, aku menunggumu di rumah sakit kemarin. Kamu masih ingat jalan ke sana kan?]

"Tentu saja." Lagi-lagi Liliana mengangguk lantas memutus sambungan. Tidak butuh lama untuk bersiap-siap, dia hanya menarik kaus longgar lengan panjang dan celana selutut, syal panjang dan kaca mata hitam untuk menutupi rambut dan sebagian wajah yang bengkak, kemudian menyampirkan tote bag-nya di bahu lalu ke luar kamar.

"Non Liliana mau ke mana?" Mbak Pur membekap mulut saat melihat tampang Liliana yang berantakan. Bibir majikannya bengkak dengan satu mata mengatup dikelilingi lingkaran hitam. "Astaghfirullah, kenapa jadi seperti ini sih, Non?"

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang