Bab 32

560 47 2
                                    

"Jadi begitu?"

Samuel tersenyum miring saat melepas penyuara dari telinga. Dinding ruangan kerja yang dingin menggemakan suara tawanya, membahana sampai ke sudut ruangan. Benda hitam mungil itu berderak, remuk dalam kepalan kuat Samuel. Tidak sia-sia dia memilih bolos hanya untuk mendengar percakapan Benedict dengan Chika. Samuel melempar asal handsfree di genggaman kemudian menyeringai lebar.

"Sayang sekali kalian tidak ikut mendengar berita gembira ini." Samuel mencibir sinis. Tatapannya jatuh, mengunci pada ujung sepatu yang mengetuk-ngetuk permukaan lantai. Samuel melomgok ke kolong meja lantas berbisik. "Tempat persembunyian Nyonyamu sudah ketahuan."

Lagi-lagi Samuel tertawa panjang, dia meraih botol wine yang ditinggalkan Liliana kemarin kemudian menyecapnya dalam-dalam. Isi kepalanya berputar mencari tahu, mengapa Liliana membawa serta dokumen pribadinya. Untuk mengancamnya kah?

"Tidak semudah itu menghancurkan Samuel Lunggono, Liliana Dermawan." Samuel mengekeh geli, sambil memegang perut. "Dokumen tender itu bukan apa-apa."

Samuel terus bermonolog, seperti hanya dengan wine yang terus membasahi tenggorokan. Samuel mengintip ke dalam botol melalui lubang, dia baru sadar botol itu kini kosong.

"Siti! Ambilkan saya wine lagi!" teriak Samuel bersama kegeraman. Tidak ada sahutan, dia kembali berteriak.

"Siti!"

Terus seperti itu sampai akhirnya Samuel tertawa sambil menepuk kepalanya.

"Ahahaha, saya lupa kalau kamu ada di bawah situ." Kepala Samuel merunduk ke bawah meja, tangannya terulur mengetuk-ngetuk lantai.

"Mbak Siti enggak akan berakhir di sini kalau enggak macam-macam sama saya." Samuel bangkit, kemudian menyandarkan punggung ke kursi. Embusan napas terhela begitu saja.

"Seharusnya kamu menuruti Nyonya untuk meninggalkan rumah ini." Kedua rahang Samuel mengeras, mengetat kuat. Kedua alisnya menukik tajam.

"Kamu juga Batiar! Berani-beraninya sekongkol sama wanita mandul itu! Sekarang, rasakan sendiri akibatnya."

Samuel terbahak saat bangkit dari kursi, langkahnya terhuyung ke arah pintu, oleng ke kanan kemudian ke kiri. Masih dua langkah lagi jemari kukuh itu meraih pegangan pintu, nada dering dari perangkat jemala memintas gerak tungkainya. Kedua alis Samuel terangkat naik, matanya membulat, berakomodasi maksimum, bibirnya mengeja satu demi satu huruf yang terpampang di layar.

"Pa ... pa ...."

Sial! Apa yang terjadi sampai papanya tiba-tiba menghubungi? Jika bukan masalah besar, laki-laki itu tidak akan terusik. Apa lagi sampai mengganggu waktu liburannya memancing di Iztapa bersama Gilbert Andes.

"Malam, Pa."

[Di sini masih jam 7 pagi.] Daud Lunggono menjawab kalem.

Ini yang Samuel takutkan, Daud Lunggono selalu tenang meski sedang menghadapi masalah sebesar apa pun. Hatinya makin ketar-ketir, dia memutar badan kembali ke kursinya. Kesadaran yang nyaris hilang kembali direnggut otaknya. Samuel berdeham setelah beberapa saat keheningan menyapa mereka berdua.

[Papa dengar Liliana hilang ....]

"Ah, dia hanya sedang ke rumah Joy Wiyono, sahabatnya. Besok juga pulang." Lancar sekali Samuel berdusta. Alkohol memang membuat kepercayaan diri meningkat berkali-kali lipat.

[Baguslah kalau begitu.]

Sependek ingatan Samuel, Iztapa di Guatemala memiliki perairan tenang dan bebas arus yang memungkinkan ribuan ikan spesies berkembang biak. Wilayah itu sangat cocok untuk Daud Lunggono yang suka bertarung dengan hasil tangkapan. Spesies Pacific Sailfish sangat menyukai lokasi itu. Namun, seperti ada deru ombak menghantam buritan kapal tertangkap indra Samuel. Papanya berdecih, bahkan alam pun seolah bekerja sama dengan emosi Daud Lunggono. Samuel bergeming di kursinya, menahan napas saat Daud kembali bersuara, lebih panjang dari sebelumnya.

[Gilbert ngomong ke papa kalau dia menerima telepon dari pengacara PT Mega Baja. Mereka ingin memperkarakan tender PUPR yang kita menangkan.]

Samuel tergelak, selama tiga puluh lima tahun kehidupannya, baru kali ini dia berani terbahak di depan Daud Lunggono. Ternyata benar, usia berbanding terbalik dengan percayaan diri. Semakin bertambah usia, semakin berkurang rasa percaya dirinya. Kemana Daud Lunggono yang selalu bisa membuat lawannya gentar. Sedalam itu Gilbert mempengaruhi papanya? Samuel mengembuskan napas panjang.

[Ingat, Samuel. Nama baik perusahaan kita bergantung padamu.]

"Papa jangan khawatir, Sam akan menyelesaikan masalah ini dengan baik."

[Oh, ya, jangan lupa! Urus istrimu, kasih dia sedikit pelajaran karena sudah main-main dengan Keluarga Lunggono. Papa tutup teleponnya.]

Samuel menyeringai lebar sembari memandangi layar perangkat pintar yang kini menghitam. Daud Lunggono memberikan restu. Tidak ada masalah. Dia kembali membuka aplikasi sambungan selular. Sudut bibir Semue mengulas senyum sinis.

"Ini gue, Sam." Samuel tertawa saat mendengar jawaban di seberang sambungan. Entah apa. "Sebentar gue kirim alamat. Jemput istri gue di sana."

Tatapannya mendelik tajam. Samuel menjauhkan perangkat jemala dari samping telinga. "Kalau dia enggak mau? Paksa, Goblok!" Samuel menggebrak meja. "Jangan bikin gue kehilangan kesabaran."

Samuel memutus sambungan diikuti sumpah serapah. Ingin rasanya dia melempar benda pipih itu ke dinding, otaknya kusut sekali. Banyak masalah yang terjadi sejak Liliana meninggalkannya. Tender besi baja dengan PT Engineering Indonesia gagal dia dapatkan. Perusahaan multi nasional itu terlalu nyaman bekerja sama dengan Wijaya Tama Steel. Entah sejak kapan mantan suami istri itu menjadi kompak? Sial! Samuel mengepalkan tangan, ini tidak bisa dibiarkan. Tidak satu pun perusahaan baja yang boleh menyaingi Inti Baja. Samuel tidak akan tinggal diam. Adam dan Josephira harus menanggung semuanya.

Jemari kukuh itu terulur meraih ponsel di atas meja, Jika dia tidak bisa mendapatkan tender besar itu, Adam dan Josephira pun demikian.

"Bagaimana dengan persiapan penyerangan?" tanya Samuel tegas. Nada suaranya penuh penekanan. Sementara di seberang panggilan, sosok berpakaian serba hitam itu mengangguk mantap, sesekali membungkuk takzim, memberi hormat. Padahal Samuel di ujung panggilan sama sekali tidak tahu apa yang dia lakukan. Jika si baju hitam bermaksud mencari muka dan menjilat, siasatnya salah. Sungguh pemborosan waktu dan tenaga.

[Siap, Bos! Kami sudah menyiapkan segalanya.]

"Saya mempelajari kebiasaan Adam Tamabrata dan Josephira Wijaya selama ini. Mereka selalu kembali ke Jakarta setiap pukul sembilan malam." Dalam pendengaran Samuel, lawan bicaranya mengentak kaki, seiras dengan jawaban mantap.

[Siap, Bos! Kami akan melakukan apa pun untuk menghalangi mereka. Bos tidak perlu khawatir.]

Samuel mengekeh, gampang sekali membeli kepatuhan di dunia ini. Berikan imbalan yang tidak pernah mereka bayangkan, orang itu akan terus mengikut, menjilat layaknya anjing penjaga.

"Selama ini, saya tidak bisa melenyapkan kedua orang itu karena selalu ada patwal yang mendampingi perjalanan mereka," sahut Samuel lantas tertawa.

Di seberang sana, si preman ikut terbahak menyambut gelegar tawa sang penelepon. Otak laki-laki itu sudah membayangkan tumpukan uang. Dia tidak boleh gagal. hingga tawa si preman menghilang teredam bentakan Samuel.

"Jangan ketawa, Bodoh! Kamu boleh melakukannya kalau kamu dan anak buahmu berhasil menyelesaikan pekerjaan yang saya berikan."

[Si-siap! Laksanakan, Bos.] Si Preman menyahut sambil tergagap.

Samuel menyeringai sinis, dia tidak peduli hubungan baik Daud Lunggono dengan Felix Wiyono yang merupakan ayah mertua Josephira. Dia hanya peduli, bagaimana caranya bisa mengambil alih tender PT Engineering Indonesia. Meski dilakukan dengan cara busuk dan kotor. Who care? Itulah Indonesia, hukum pun bisa dibeli.

"Ingat! Kalian hanya bisa menukarkan sekoper uang bayaran kalian dengan kepala Adam dan Josephira. Setelah itu, kalian harus menyeret Liliana pulang!"

***

Vote dan komen yang banyak yuk biar makin semangat update!

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang