Jika ada pemilihan karyawan teladan, mungkin Benedict akan terpilih sebagai salah satu nominasi. Dia selalu datang lebih awal dan akan selalu pulang belakangan. Bagi Ben, HAD Law adalah rumah kedua, pantang baginya untuk menunda dan meninggalkan pekerjaan terbengkalai. Meski dia adalah pewaris Gilbert Andes, bukan berarti Benedict harus ongkang-ongkang kaki dan membiarkan rekan-rekannya bekerja sendiri.
Sesukses apa pun para pendahulu, jika penerusnya tidak becus, apa yang susah payah dibangun akan hancur perlahan dan menjadi abu. Benedict tentu tidak pernah berharap, pencapaian besar yang diraih Gilbert Andes bersama Hartono dan Dermawan hancur karena dia tidak profesional.
Namun, ada yang tidak biasa dari tatapan orang-orang pagi ini. Pandangan mereka seperti ... menyudutkan Benedict. Baiklah! Tampangnya memang sedikit kusut. Dia kurang tidur sebab mengurus laporan KDRT Liliana yang seolah berjalan di tempat. Tidak ada progres sama sekali. Kecurigaan Benedict terbukti, Samuel Lunggono benar-benar berkuasa, mungkin tersebar di setiap jajaran pemerintahan dan kekuasaan. Rekan Benedict di Polda menginfokan, ada perwira tinggi yang menarik laporan dengan persetujuan Liliana.
Namun, ada apa dengan ini? Jangan-jangan dia melewatkan sesuatu. Meski banyak pertanyaan di dalam dada yang kini terasa dipenuhi gemuruh, Benedict berusaha tetap tenang.
"Selamat pagi." Senyum ramah terulas di bibir Benedict sambil sesekali mengangguk sopan saat berpapasan dengan karyawan lainnya.
"Pagi, Ratna," sapa Benedict ramah pada wanita berkemeja toska di belakang meja oval.
"Pagi," jawab Ratna singkat.
Berbeda dengan hari-hari kemarin. Senyum miring malah dilayangkan wanita itu. Sependek ingatan Ben, wanita itu selalu sopan dan hangat padanya. Kepala Benedict semakin dilingkupi pertanyaan. Apakah ada masalah?
Seorang Cleaning Service yang dilewati Benedict pun sama anehnya. Petugas kebersihan itu bolak-balik mengepel di sekitar Benedict, kemudian melanjutkan dengan mengelap setiap lekukan profil di dinding. Benedict yakin, lantai marmer abu-abu yang bersentuhan dengan pantofelnya itu sudah kinclong, bahkan sebelum Benedict tiba di kantor.
Jangan ditanya sebersih apa marmer hitam dengan urat keabu-abuan di sekeliling Benedict. Salah satu kebiasaan Gilbert Andes adalah menyapukan jari sepanjang dinding yang dia lalui. Ayahnya akan marah besar jika ada debu yang menempel di telunjuknya. Sial! Benedict tidak tahan dengan situasi ini. Lift yang ditunggu juga seperti merangkak dari lantai tertinggi.
"Mbak ada perlu sama saya?"
Petugas kebersihan itu tersenyum kaku lalu menggeleng. "Ndak, Pak. Saya memang bertugas di area ini. Mari." Si cleaning service membungkuk hormat kemudian berbalik badan lantas melanjutkan aktivitas. Wanita itu seperti mengabaikan perubahan raut wajah Benedict.
Satu alis Benedict naik, matanya memicing mengindera punggung sang petugas kebersihan yang bergerak menjauh selaras dengan pintu kotak aluminium terbuka. .
Lagi-lagi Benedict tersekat kesiap. Para karyawati yang ada di lift bersamanya melayangkan senyuman jahil, saling berbisik kemudian cekikikan. Benedict semakin tidak nyaman, dia memalingkan wajah sambil menunduk, mengendus ketiak. Tetap wangi seperti biasanya. Namun, Benedict yang selalu percaya diri mendadak insecure. Ketika lift sampai di lantai, Benedict mempercepat langkah menuju pantry, dia perlu menenangkan diri dengan segelas kopi.
Huffft! Benedict mengembuskan naas lega. Aroma kopi berpadu teh camomile menguar memenuhi ruangan, menyelusup ke rongga hidung lalu meranggas ke otak. Benedict menarik kursi menghadap ke jendela. Deretan hutan beton menjulang memenuhi pandangan, dua titik hijau di kejauhan menjadi fokus Benedict sebelum mengalihkan pada stoples dan cangkir di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWINGER CLUB
RomanceLiliana Dermawan dan Benedict Andes bertemu di Swinger Club. Liliana dipaksa Samuel, suaminya untuk melakukan hubungan terlarang dengan Ben, sementara itu Samuel berhubungan dengan Chika, tunangan Ben. Pertemuan singkat pada malam itu tidak selesai...