Natal tahun itu Liliana lewati dengan kegundahan. Dia banyak termenung saat mengikuti misa di gereja. Menyendiri di acara Natal keluarga besar. Tidak ada yang menanyakan kenapa Liliana bersikap seperti itu karena sehari-hari memang demikianlah dirinya, menjauhi keramaian, tidak suka bersosialisasi.
Liliana belajar dari pengalaman bahwa mengumbar emosi apalagi sampai meluapkan di media sosial seringnya hanya memicu masalah lebih besar. Masalah membuat kepalanya pening dan hidupnya berantakan. Jadi Liliana menjaga suasana tetap kondusif. Dia bukan tipe orang yang mau repot berjuang. Menentang arus itu melelahkan.
Semester baru dimulai. Sebagian besar temannya masuk sekolah dengan perasaan campur aduk antara enggan menghadapi tumpukan tugas dan antusias karena bertemu teman.
Liliana punya banyak hal yang dapat dia ceritakan, tetapi memilih diam. Menjadi pendengar yang baik atas cerita liburan teman-temannya.
"Gue habis dari Eropa. Nih oleh-oleh." Joy membagikan cokelat dari Swiss. Karena sekarang bulan Januari dan suasana liburan belum sepenuhnya pudar, dia sengaja memilih cokelat bernuansa Natal. Santa Claus, pohon Natal, kepala rusa, tongkat merah-putih, semua dibungkus dengan aluminum foil bergambar.
"Gue ke Puncak aja sih, tahun baruan di villa keluarga," sambar Cleo.
"Gue keliling mal."
"Gue marathon DVD," sambung Lidwina.
Teman-teman sekelas Liliana bergantian bertukar cerita mengenai betapa asyiknya liburan mereka.
"Kalau lo ke mana, Lil?" Lidwina menyadari bahwa sejak tadi Liliana hanya mengamati tanpa ikut menimbrung.
"Di rumah," jawab Liliana singkat.
"Masa liburan panjang di rumah doang? Nggak asyik amat."
Liliana berpikir sebaliknya. Justru cara teman-temannya menghabiskan masa liburan lah yang tidak asyik. Bukankah sehari-hari mereka penat mengerjakan tugas dan belajar sampai terkadang kurang tidur? Jadi seharusnya masa liburan dimanfaatkan untuk beristirahat, bukannya semakin pusing karena mengurus tetek bengek perjalanan.
"Nggak ada acara keluarga?" desak temannya yang lain.
"Ada sih. Gitu-gitu aja." Liliana malas menceritakan detail makan siang keluarga besarnya yang menurutnya sekadar rutinitas tahunan. Obrolan yang bergulir hanya seputar pamer pekerjaan, pamer prestasi, pamer rumah baru, pamer pacar baru. Liliana tidak punya apa pun yang bisa dipamerkan. Acara keluarga malah terasa bagaikan tur keliling neraka.
Karena jawaban cuek Liliana, teman-temannya jadi malas memancingnya bicara. Joy tak ambil pusing. Dia melahap cokelat Santa Claus dengan isian blueberry.
Keriuhan itu berakhir begitu bel masuk berbunyi. Para siswa berhamburan ke lapangan untuk melaksanakan upacara perdana di semester ini.
***
Setelah seharian berkutat dengan pelajaran, bel pulang adalah bunyi paling indah yang paling ditunggu-tunggu. Para siswa membereskan buku pelajaran sebelum keluar dari kelas masing-masing.
"Semester ini gue didaftarin bimbel sama Papa." Joy bercerita saat tengah jalan berdua dengan Liliana menyusuri koridor menuju gerbang sekolah.
"Lo nggak langsung pulang ya?"
"Nggak nih. Padahal udah capek. Pengen goleran di kasur, nyalain AC," keluh Joy. Namun dia termasuk anak yang patuh. Pemikirannya memang sedikit rebel, tapi Joy tidak pernah membuat masalah. Setiap sabda orang tua dipatuhinya asal bukan dipaksa kawin seperti Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih.
Liliana sedikit sedih. Temannya yang hanya sedikit, semakin terasa nihil. Untuk memulai pertemanan baru pun dia tidak tahu harus mulai dari mana. Hanya Joy yang cukup telaten mendekatinya. Mungkin karena kasihan melihat dirinya selalu sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWINGER CLUB
RomanceLiliana Dermawan dan Benedict Andes bertemu di Swinger Club. Liliana dipaksa Samuel, suaminya untuk melakukan hubungan terlarang dengan Ben, sementara itu Samuel berhubungan dengan Chika, tunangan Ben. Pertemuan singkat pada malam itu tidak selesai...