LIMA BELAS TAHUN YANG LALU (1)

5.3K 142 12
                                    

Hampir semua orang di muka bumi menyukai uang. Pejabat yang bersumpah di bawah kitab suci rela menggadaikan rakyat ketika mencium aroma uang. Di mancanegara, istri membunuh suami atau sebaliknya untuk mendapatkan uang asuransi. Para orang tua menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah terbaik agar setelah lulus cepat mendapat kerja dengan bayaran tinggi. Lihat kan, pusat kehidupan bukanlah matahari tetapi uang. Tuhan bagi setiap manusia adalah uang.

Liliana tidak mau begitu. Apa asyiknya hidup mengejar-ngejar uang seperti ayahnya? Siang dan malam membanting tulang membesarkan perusahaan baja. Sikut menyikut dengan perusahaan lain demi mendapatkan tender besar.

Sejak tahun pertama masuk SMA, Liliana sudah dipaksa ayahnya, Hermanto Dermawan masuk jurusan bisnis. Liliana menurut bukan karena menyukai uang, tetapi lebih karena tidak menyukai keributan. Dia hanyalah anak semata wayang yang tidak punya teman sekongkol untuk melawan orang tua.

Dunianya adalah dunia yang hening. Sahabat sejatinya hanya dua, Joy dan Lidwina. Selebihnya, Liliana banyak menghabiskan waktu bersama buku. Menjelajah makam-makam kuno Mesir, menjadi 'saksi mata' pembantaian orang Tionghoa oleh Belanda yang kemudian mayatnya dibuang ke Kali Angke, atau mengintip percintaan panas Duke dengan pelayannya hanya melalui buku-buku yang dia baca.

Cita-cita Liliana sederhana, menjadi penulis. Menyampaikan pemikiran yang tak mungkin diucapkan secara verbal. Cita-cita yang diam-diam dia pupuk sejak SMP tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Pernah Lidia Ongkow, ibunda Liliana memergoki putrinya menulis. Hasilnya kemarahan luar biasa. Katanya menulis adalah pekerjaan pengangguran, buang-buang waktu, tidak menghasilkan. Hermanto mendukung pendapat sang istri. Mengharamkan putrinya menekuni dunia literasi.

Liliana diam. Menurut tetapi memberontak pada saat yang sama. Di sekolah dia tidak pernah belajar, malah sibuk mengisi buku tulisnya dengan ceritanya sendiri. Joy dan Lidwina tahu tetapi tak mengusiknya.

Buku tulis yang semula kosong, dipenuhi tulisan. Liliana membawa serta novel tulisan tangannya ke mana-mana. Membaca kapan saja kala sendiri.

Seperti siang itu, hujan bulan Desember menyirami pucuk-pucuk daun pohon maple Jepang di kediaman Keluarga Wiyono. Felix menyukai segala hal berbau oriental. Dia menggabungkan saja taman ala Dinasti Joseon dari Korea, Dinasti Song dari Tiongkok, dan Kokyo Gaien dari Jepang. Menurutnya, kebudayaan negeri ginseng, tirai bambu, dan matahari terbit memang mirip. Cara makan menggunakan sumpit, model pakaian, aksara, sampai tamannya bagaikan berasal dari akar yang sama.

Liliana menemukan surga di pendopo yang dihubungkan dengan jembatan merah membelah kolam ikan koi. Dia terjebak dengan sepiring risoles mayones, segelas wedang jahe, dan tentu saja buku tulis.

Semalam Liliana membaca historical romance terbitan salah satu penerbit mayor terkenal. Bercerita tentang seorang Duke yang jatuh hati pada budaknya sendiri yang kemudian melahirkan anak. Kisahnya menghanyutkan. Liliana menganggap budak tersebut adalah dirinya dan Duke adalah laki-laki tampan yang akan membawanya pergi dari kungkungan orang tuanya.

Sendirian di pendopo, Liliana memulai ceritanya sendiri yang terinspirasi dari bacaannya. Menggubah kisah perempuan modern sebagai representasi si budak.

"Mengkhayal terus." Joy, putri sulung Felix sekaligus sahabat Liliana sejak awal tahun ajaran di kelas 1 SMA sebuah yayasan Katoilik muncul membawa payung besar berwarna putih.

Liliana menoleh sebentar dengan senyum misterius, lalu kembali menulis.

"Nih gue balikin, udah selesai baca." Joy rupanya mengempit salah satu buku tulis Liliana. "Dari semua novel lo, gue paling suka cerita ini. Female lead-nya nggak menikah sama Male Lead, tapi jadi biarawati. Male lead mati tenggelam di laut. Tragis, tapi sesuai kenyataan."

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang