LIMA BELAS TAHUN YANG LALU (3)

2.2K 112 5
                                    

LIMA BELAS TAHUN LALU (3)

Satu minggu berlalu dan tidak ada tanda-tanda pacar Samuel yang editor itu tertarik pada naskah Liliana. Tidak ada telepon, tidak ada e-mail, tidak ada apa-apa. Liliana menunggu dengan sia-sia. Mungkin Samuel melupakannya. Menjelang Natal, gadis itu berharap ada kabar baik sebab dia kesepian ditinggal sahabatnya. Joy tengah liburan semester bersama Juan dan Felix keliling Eropa. Foto-fotonya menghiasi Facebook. Sementara itu ayahnya sibuk bekerja di tengah musim liburan.

Berkebalikan dengan Keluarga Wiyono, Keluarga Dermawan memutuskan untuk tidak merayakan secara berlebihan. Hermanto justru giat bekerja pada musim liburan. Umumnya pesanan baja menurun pada akhir tahun. Hujan deras di berpengaruh pada turunnya intensitas pekerjaan proyek bangunan. Adukan semen sulit mengering akibat kurangnya cahaya matahari. Belum lagi banjir di berbagai titik menjadi tradisi negeri ini. Pada saat inilah Hermanto menemukan celah. Dia melobi berbagai perusahaan pengembang, siapa tahu saat musim kemarau nanti para pengembang itu mau beralih menggunakan baja dari PT. Jagat Baja Semesta. Semangat Hermanto terlecut setelah melihat kemajuan PT. Intibaja Cemerlang, perusahaan Keluarga Lunggono. Jiwa kompetitifnya ingin merebut pangsa pasar yang dikuasai perusahaan yang lebih muda itu.

Desember identik dengan suasana muram. Awan mendung rajin menyambangi langit Jakarta. Jika sudah terlampau pekat, airnya tumpah bagai air mata duka. Liliana selalu mengibaratkan hujan adalah air mata sepasang kekasih yang diputus paksa oleh orang tua.

Di luar negeri, Desember sama suramnya. Salju di mana-mana. Udara membekukan pembuluh darah, tak jarang merenggut korban jiwa. Pohon meranggas menyisakan ranting kering. Hewan bersembunyi di liang setelah bekerja keras menimbun makanan sepanjang musim semi. Natal yang istimewa dan penuh warna ada untuk menceriakan kemuraman itu.

Sore itu kediaman Keluarga Dermawan sepi. Hermanto tidak akan pulang sebelum pukul 10 malam karena sibuk di kantor, sementara Lidia sibuk dengan aktivitas sosial. Tadi pagi sang Ibu sudah mengajak Liliana ikut ke panti asuhan. Bergembira bersama mereka yang kurang beruntung. Liliana tidak pernah punya masalah dengan berbagi. Masalahnya hanya satu: keramaian. Kepalanya pusing jika berada di tengah derai tawa manusia lain.

Tidak mengapa. Introvert seperti Liliana punya cara sendiri untuk bersenang-senang. Dia asyik mengurung diri di kamar bersama setumpuk buku.

Mbak Pur, asisten rumah tangga yang sudah 15 tahun mengabdi untuk keluarga itu memaklumi kebiasaan nona mudanya. Dia membawa makanan ke kamar Liliana agar tidak kelaparan sementara majikan kecilnya tenggelam dalam dunia khayalan.

Liliana juga menulis ceritanya sendiri di buku tulis selama liburan. Sebagai kamuflase, dia letakkan buku pelajaran di depan buku tulisnya agar dikira belajar. Sejak awal SMA hingga bulan Desember, sudah enam novel dia selesaikan. Pagi sampai malam itulah pekerjaan Liliana. Dia tidak pernah mendengarkan penjelasan guru. Semua PR adalah hasil menyontek dari Joy. Secinta itu dirinya pada dunia menulis. Laksana candu. Jika sehari saja tidak menulis, Liliana akan gelisah dan bad mood. Jadi itulah yang dia lakukan sekarang. Menulis.

"Non." Suara Mbak Pur dari balik pintu disertai suara ketukan.

Liliana turun dari kasur. Tidak biasanya asisten rumah tangga sekaligus pengasuhnya akan mengganggu rutinitasnya yang membosankan. Dia membuka pintu.

"Ya, Mbak?" Liliana hanya memberi sedikit celah agar hanya kepalanya yang menyembul.

"Ada yang cari."

"Siapa?" Kening Liliana terlipat. Dia tidak terbiasa kedatangan tamu kecuali Joy. Kemampuan sosialnya memang payah.

"Pacar Non." Mbak Pur senyum-senyum.

"Bercanda, Mbak."

"Eh, bener Non. Orangnya begini." Mbak Pur mengacungkan dua jempol sekaligus. "Tinggi, hidungnya mancung, badannya tegap. Mobilnya juga bagus."

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang