BAB 19

1.8K 67 7
                                    

Liliana maupun Benedict sama-sama membeku. Tidak ada satu pun yang berinisiatif untuk berpindah posisi. Tubuh mereka saling menempel layaknya magnet berlawanan kutub. Kutub utara akan selalu menarik kutub selatan.

Perlahan tangan Benedict terulur melingkari punggung Liliana. Benedict tidak mabuk, tetapi Liliana jelas mabuk, buktinya dia diam saja ketika punggungnya diusap. Wajahnya memerah. Kelopak matanya sayu.

Pakaian lengkap masih membungkus tubuh mereka. Blus putih kebesaran yang Liliana kenakan memberi akses pada Benedict untuk memandangi bahu kuning langsatnya. Lebam kebiruan yang sudah memudar tercetak di sana.

"Samuel," gumam Benedict marah. Jemarinya mendarat di sana, meraba noda itu.

Liliana berguling ke samping. Dia mabuk, tetapi masih sadar. Kepalanya sedikit pening, tetapi masih dapat melihat keadaan sekitar. Begitu pula pendengarannya berfungsi. Nada simpati Samuel memantik kesedihan yang berusaha dia redam. Air matanya mengalir.

"Do you love him?" Benedict tidak ingin mengambil sesuatu yang bukan haknya. Jika hati Liliana masih milik Samuel, Benedict tak akan merebutnya.

"I did."

"Did?" Mata Benedict memicing. Dia menghadap Liliana. Do dan did adalah bahasa Inggris sederhana. Anak TK pasti paham artinya, apalagi Benedict.

"Dulu aku cinta sama Sam. Kalau kamu tanya sepuluh tahun lalu, jawabanku pasti ya, tapi kalau sekarang...." Kata-kata Liliana terhenti.

Ibu jari Benedict menghapus air mata Liliana. Dia menelungkup di atas sosok rapuh itu, berhati-hati mengecup bibirnya. Benedict membelai lembut pipi Liliana yang basah.

"Seberapa sering dia nyakitin kamu?"

Liliana menggeleng. Dia tak menghitung berapa rasa sakit yang pernah mendera tubuhnya. Alam bawah sadarnya ingin melupakan semua penderitaan.

"Semua salahku. Samuel layak membenciku." Liliana membuang muka.

"No. You don't deserve all this pain."

Benedict mengecup bibir Liliana. Ketika tak merasakan penolakan, Benedict memperdalam ciumannya. Sesuatu meyakinkannya bahwa Liliana punya gairah. Hanya saja gairah itu dipadamkan ketakutan.

Benedict benar. Liliana menganggap kedudukannya sebagai istri hanya berkewajiban melayani. Dia tidak layak memiliki kehendak seksual sendiri. Akan tetapi, ketika tangan Benedict menyelusup ke balik blusnya, meraba setiap senti kulitnya, barulah Liliana sadar bahwa dia merindukan sentuhan laki-laki yang bergairah dan melindungi pada saat bersamaan.

Liliana mendesah. Ciuman laki-laki di atasnya semakin menuntut. Bukan kasar. Liliana merasa diinginkan. Tatapan mata itu membara dan membuatnya merasa cantik. Benedict mengajarinya lagi arti gairah. Dia memejamkan mata. Seharusnya dia marah karena dilecehkan, anehnya Liliana menikmati perlakuan ini.

Tanpa sadar Liliana mencengkeram kemeja Benedict, berusaha mengeluarkan dari pinggang celana panjangnya. Benedict sigap mengetahui apa yang diinginkan Liliana. Dia duduk sejenak melucuti pakaiannya dan membuangnya sembarangan.

Liliana menyentuh perut Benedict yang keras. Menggigit bibirnya dan mulai bertanya-tanya dosakah jika menginginkan tubuh atletis itu menindihnya?

Angin laut berembus. Liliana khawatir orang-orang di bawah dapat melihat mereka. Namun dia membuang pikiran-pikiran tadi dan mencoba menikmati momen.

"Mau masuk ke dalam?" tanya Benedict. Dia ingin Liliana melakukan apa pun dengan sukacita. Bercinta di balkon beberapa kali dilakukannya bersama Chika. Benedict masa bodoh jika jadi tontonan bahkan mempersilakan jika ada yang mau merekamnya kalau bisa. Kaca balkon ini istimewa. Benedict dan Liliana bisa melihat kejadian di luar, tetapi orang dari luar hanya dapat melihat lembaran kaca seputih es. Liliana tidak mengetahuinya.

SWINGER CLUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang