42. Semua Hilang

329 45 36
                                    

Sesampainya di rumah, Shishi dikejutkan dengan kehadiran kedua orang tuanya yang tengah beradu mulut, bahkan mereka tak menyadari kepulangan Shishi.

Mama, Papa.

Shishi hanya bisa membatin dalam hati menatap orang tuanya bergantian, kalau boleh dibilang ini pertama kalinya dirinya melihat mama papanya beradu mulut seperti itu, karena ya selama ini orang tuanya tak pernah sekalipun Shishi lihat cekcok, mereka selalu akur. Namun, siapa sangka diamnya mereka adalah tanda saling tidak peduli.

“Aku begini juga karena kamu duluan selingkuh!” balas Airin berteriak dan menatap tajam.

“Shishi?” Chakra terkejut mendapati Shishi ada di depannya.

“Kebetulan kamu pulang, sini, kamu mau ikut papa atau mama kamu?” Pria itu melambaikan tangannya meminta anaknya menghampiri.

Sudah Shishi duga, mereka takkan pernah bertanya keadaannya dan kabarnya. Padahal setelah Shishi ngekos juga ia tak pernah bertemu lagi dengan papanya itu.

“Kamu udah 17 tahun, jadi soal hak asuh terserah kamu maunya ikut siapa,” ujar Chakra lagi perlahan duduk di sofa hingga berhadapan dengan Airin.

“Kalian pergi aja dari sini cari kebahagiaan kalian masing-masing, Shishi mau tinggal di sini sendiri,” balas Shishi datar, matanya tak sedikitpun sudi melirik Airin karena mengingatkannya pada kejadian itu.

“Karena itu, Shi. Rumah ini harus secepatnya dikosongin, udah ada yang mau beli, uangnya kita bagi tiga sama kamu,” jawab Chakra tanpa beban.

Entah Shishi harus berekspresi dan melampiaskannya seperti apa lagi. Saat ini hanyalah matanya yang berkaca-kaca dan perlahan menangis tanpa mengeluarkan suara.

“Harusnya kalian dari awal gak pernah nikah sekalian, meskipun udah telanjur hamil harusnya setelah lahirin gue kalian buang gue biar gue diurusin sama orang tua yang benar-benar sayang dan peduli sama gue,” ujar Shishi mati-matian menahan tangisnya dan berucap dengan nada datar.

“Kamu tuh! Kalo ngomong!” bentak Chakra.

“Gara-gara kamu, Airin, ngasih tau kalau dia itu anak di luar nikah.”

Sedangkan Airin sedari tadi setelah hadirnya Shishi hanya diam, rasa bersalahnya pada Shishi begitu besar.

“Kamu tinggal pilih, mau ikut sama papa atau sama mama kamu! Kalo ikut sama papa kamu harus mau tinggal sama istri baru papa.”

Papa udah nikah lagi? Shishi tertawa miris dan sangat sakit, setidak penting itu dirinya di mata orang tuanya.

“Tapi kenapa rumah ini harus dijual? Shishi gak punya tempat berlindung selain rumah ini,” gumam Shishi pelan dan menunduk.

“Dan rumah ini begitu banyak kenangan, tentang kita. Meskipun dengan waktu yang begitu singkat ketika itu, setidaknya kalian pernah menjadi tempat Shishi bermanja dan berlindung,” lanjut gadis itu dengan suara parau, keluarganya yang bahagia sewaktu kecil kini berputar seperti roll film.

“Kalian sudah berpisah, sekarang cuma rumah ini yang Shishi punya.”

“Aduh, Shi. Masalahnya rumah ini udah mau ada yang nempatin, malu kalo dibatalin. Papa kasih waktu kamu tiga hari buat beresin barang-barang kamu, Papa ke sini sekarang juga mau beresin barang-barang Papa.”

Pertahanan Shishi runtuh saat ini, akhirnya dirinya sesenggukan dengan bahu yang begitu bergetar. Dan tak ada satupun dari kedua orang tuanya itu yang memeluknya ataupun menenangkannya.

Pada akhirnya Shishi berjalan gontai menuju kamarnya untuk membereskan barang-barangnya.

“Shishi mau balik ke kosan aja, sebagian besar barang-barang Shishi juga di sana,” ujar Shishi yang kini menyeret sebuah koper yang tak begitu besar.

“Kamu yakin?” tanya Chakra dan Shishi langsung mengangguk.
“Ya udah, kalau butuh uang bisa hubungin Papa.”

Chakra melirik Airin karena sedari tadi diam. “Kamu! Bilang apa kek sama anak kamu! Dari tadi diam aja,” ujarnya yang mulai heran.

“Shishi, Mama minta maaf. Mama benar-benar gak tau,” ujar Airin takut-takut dan melirik Chakra. Yang dimaksud Airin adalah Theo, dia gak tau Theo pacar Shishi.

“Gak usah dibahas lagi,” balas Shishi cepat.

“Shishi pergi, ya, Ma, Pa,” lirih gadis itu menatap orang tuanya satu per satu dengan suara parau menahan tangis.

Shishi sudah yakin kalau saat ini terakhir kalinya mereka bertiga bisa berkumpul meskipun dengan suasana yang menyedihkan.

“Mau Papa antar?” tanya Chakra yang tak biasanya bersikap perhatian.

Shishi menggeleng lemah. “Ini terakhir kalinya kita sama-sama, kan? Boleh gak Shishi minta dipeluk kalian berdua?”

Keduanya diam dan saling melirik, dan akhirnya Chakra mengangguk.

“Ya udah duduk di sini,” ujarnya menepuk sofa di sebelahnya.

Dengan sedikit senyuman mulai tersungging di bibirnya Shishi berjalan dan duduk di samping Chakra.

“Sini, Rin!” panggil Chakra dan Airin pun dengan perasaan sesaknya ikut duduk di samping Shishi hingga gadis itu kini berada di tengah- tengah orang tuanya.

Mereka pun mulai memeluk Shishi bersamaan.

Tangisan Shishi pecah saat itu juga, sudah sangat lama ia merindukan dan menantikan moment ini. Tangisannya semakin menjadi karena mengingat bahwa orang tuanya sudah bercerai dan papanya sudah menikah lagi.

“Ma, Pa, Shishi minta maaf, ya,” ucapnya di sela-sela tangisan itu.

“Karena kehadiran Shishi membuat hidup kalian kacau, Shishi udah merenggut kebahagiaan dan masa muda kalian.”

“Sekarang kalian bisa fokus melanjutkan kehidupan kalian masing-masing, mencari kebahagiaan kalian sendiri-sendiri.”

“Tapi, kalau kalian udah menemukan kebahagiaan kalian, udah punya keluarga baru, jangan lupain Shishi sebagai putri pertama kalian.”

“Shishi sayang banget sama kalian berdua, Shishi gak punya siapa-siapa selain kalian.”

“Maaf, Shishi selalu menjadi beban. Sekarang Shishi pamit, ya? Biar Shishi yang duluan pergi dari rumah ini meski dengan berat hati.”

“Shishi doain kalian benar-benar menemukan kebahagiaan kalian meski tanpa Shishi.”

Setelah itu Shishi mencium kedua pipi mama papanya lalu bangkit berdiri dan benar-benar melangkah keluar tanpa melirik sedikitpun ke belakang.

Chakra kini hanya mematung dengan air mata yang sudah berlinang meski tanpa suara, sedangkan Airin sudah menangis sejadi-jadinya setelah Shishi tak terlihat lagi.

***

Shishi kini semakin merasa hampa, ia benar-benar sendiri sekarang. Keluarga dan rumah yang selalu menjadi tempatnya untuk pulang kini sudah tidak ada lagi.

Ia berjalan gontai tanpa arah dan tujuan, Echan sahabatnya sudah meninggalkannya dan Shishi tak berani lagi meski hanya menyebut nama Lia, ia sadar diri tak pantas disebut sebagai sahabat untuk Lia.

Terbersit untuk menemui Ryu seperti sebagaimana permintaan gadis itu siang tadi, tapi ia urungkan karena itu bisa dengan mudahnya keberadaannya diketahui oleh Jemian.

Keadaan Shishi tentu tak baik-baik saja, fisik maupun batinnya. Pandangannya sudah buram dengan wajah lengket karena air mata.

Secara perlahan gadis itu akhirnya ambruk tak sadarkan diri. Di malam hari, dan di jalanan yang sepi.

tbc

GREED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang