39. Ya

290 49 14
                                    

Pagi harinya, Shishi terbangun dan melirik sebelahnya yang sudah kosong, matanya terpejam merasa bahwa ini adalah masalah besar.

Semalam mereka tidur berdua dalam satu ranjang, ya hanya tidur dengan Jemian yang memeluk erat Shishi seakan tak ingin melepaskan.

Hubungan mereka sekarang itu apa?

Shishi memijat keningnya, apa yang ia jalani tak ada yang lebih baik. Jemian memang mampu meringankan semua lukanya, tapi ia sadar akan ada luka lain menanti dirinya, bahkan hati yang lain yaitu sahabatnya sendiri.

Gadis itu kini melangkah keluar kamarnya, jika diingat mungkin dua bulan lamanya ia tidak tidur di sana dan tak merasakan suasana kebersamaan keluarganya.

Ia berjalan menuju dapur, karena biasanya dulu pagi-pagi mamanya ada di sana untuk memasak atau tengah menata meja. Menyuruhnya sarapan meski dengan nada datar.

Namun, pagi ini pemandangannya begitu berbeda. Jemian yang tengah berdiri di depan kompor.

“Nana,” lirih Shishi sangat pelan.

“Hai, udah bangun?” tanya pemuda itu tersenyum hangat.

“Mau sarapan? Ini aku bikinin telur orak-arik,” lanjutnya masih memainkan spatulanya.

Shishi hanya tersenyum tipis dan duduk di kursi, seolah bersiap untuk sarapan. Apa katanya? Aku? Shishi jelas sangat menyadari perbedaan Jemian pagi ini, begitu lembut dan tatapannya tampak sangat tulus.

“Kita sarapan di ruang tengah, yuk?” Jemian hendak membawa sepiring telur yang baru saja matang itu. Ia masih sangat ingat kejadian tak mengenakkan di meja makan, ya perselingkuhan papanya Shishi.

“Di sini aja,” balas Shishi datar.

Jemian yang tentu terkejut menoleh cepat. “Yakin?”

“Andai aku tau pagi itu sarapan terakhir aku sama mama papa, aku gak bakalan pindah buat ngekos,” lirih Shishi dengan tatapan kosong, sangat merasa hampa.

“Iya, harusnya aku tetap di sini dan sempat bisa merasakan kebersamaan itu untuk terakhir kalinya.”

Jemian beringsut, mendekatkan kursi yang ia duduki dengan kursi Shishi, setelah itu menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan mengusap punggungnya pelan.

“Kamu jangan berpikiran macem-macem, yang udah ya udah aja. Aku yakin orang tua kamu sayang sama kamu.”

“Aku gak mau kamu sakit, jangan banyak pikiran ya, Sayang.”

Jemian memanggil Sayang!

Sadar akan itu Shishi segera menjauhkan dirinya dari Jemian dan dengan cepat memulai sarapannya. Ia tidak boleh terbawa suasana, secepatnya ia harus kembali baik-baik saja dan Jemian tak lagi mengkhawatirkan dirinya, pikirnya.

Ini pertama kalinya Shishi kembali makan di meja makan itu setelah kejadian laknat papanya waktu itu. Dan nyatanya Shishi memang tak bisa melupakan itu begitu saja saat piringnya berada di atas meja itu.

“Pelan-pelan makannya, laper banget, ya?” Jemian mengusap sudut bibir Shishi yang belepotan.

Gadis itu terdiam, sebenarnya ia tidak tidak selapar itu, ia makan karena harus makan, tidak juga peduli mau enak atau tidak.

“Makasih, ya. Setelah ini lo pulang aja,” ujar Shishi sebiasa mungkin, mencoba tersenyum dan menggunakan kata lo gue lagi.

“Aku diusir, nih?” Jemian malah mengerucutkan bibirnya menatap Shishi, sok merajuk.

Lucu, batin Shishi. Tapi ia harus bisa menahannya. Bayangan Lia yang kecewa dan marah padanya terus terbayang, ia tak mau kehilangan Lia cukup Yeji aja sahabatnya yang pergi.

“Gue mau balik ke kosan, jangan khawatirin gue lagi, gue baik-baik aja kok.” Shishi bangkit berdiri membawa piring bekasnya makan ke tempat pencucian piring.

Bohong saat Shishi bilang baik-baik saja, luka dari Mamanya bersama Theo tidak bisa secepat itu ia lupakan.

“Jalan ke luar, yuk? Kamu mau ke mana?” tanya Jemian menyusul Shishi dan memeluknya dari belakang.

“Lo pulang aja.” Shishi melepas paksa tangan Jemian yang melingkar di perutnya.

“Shi, please.” Bukannya melepaskan, pemuda itu malah semakin mengeratkan pelukannya.

“Lo jangan nginep lagi di rumah Ryu, ya,” bisiknya pelan.

Sebenarnya ia sangat khawatir, keadaan Shishi sedang tidak baik dan takut gadis itu malah benar-benar terjerumus ke pemahaman yang salah.

“Iya,” balas Shishi cepat dan datar.

Jemian tersenyum dan perlahan membalikan tubuh Shishi hingga mereka kini berhadapan dengan jarak begitu dekat.

Mata mereka bertatapan dalam, ada rasa sakit yang Jemian rasa melihat mata indah milik Shishi, mata itu selalu menangis.

Perlahan kedua tangan pemuda itu naik menangkup wajah Shishi dan mengusap lembut pipinya. Saat ini Jemian begitu mengagumi dan menyukai semua yang ada pada gadis itu, matanya, hidungnya, alisnya, bibirnya dan semuanya.

Begitupun dengan Shishi, mendadak ia gugup ditatap seperti itu oleh Jemian. Dadanya berdebar berkali lipat, dan ia merasa waktu seperti berhenti untuknya. Pemilik tertinggi hati Shishi masihlah Jemian.

Tak ingin membuang waktu lagi, Jemian dengan cepat memagut bibir gadis itu begitu intens dan cukup lama, meski Shishi sendiri hanya diam mematung.

Dicium sok jual mahal, padahal aslinya pasrah aja. Kata-kata Jenov waktu itu tiba-tiba terngiang di telinga Shishi dan membuatnya mengepalkan tangan diam-diam.

“Maaf,” lirih Jemian setelah melepaskan ciumannya itu dan mengusap bibir Shishi basah.

“Kenapa gak dari dulu?” tanya Shishi dengan setetes air mata di sudut matanya.

“Ha?” Jemian tak mengerti.

“Kenapa dulu pas kita pacaran lo begitu alim?”

“Kenapa lo gak ambil first kiss gue saat itu?”

“Kenapa lo harus jadian sama Lia dulu?”

“Kenapa gue harus disentuh dulu sama banyak cowok? Gue udah hampir ditidurin sama Kak Jeffano sama Kak Theo juga, terus Jenov juga seenaknya cium gue, dan sekarang?”

“Lo jadiin gue cewek jahat sama sahabatnya? Mentang-mentang gue udah kotor?”

“Shi,” suara Jemian begitu bergetar mendengar setiap penuturan penuh sesal gadis itu.

“Shi, lo gak kotor.” Jemian menyentuh kedua bahu Shishi.

“Gue aja jijik sama tubuh gue sendiri!” teriak Shishi melepas paksa tangan Jemian dari bahunya lalu berlari ke ruang tengah.

Gadis itu masih memiliki trauma karena Jeffano hampir menodainya, dan selama ini Theo selalu menemaninya menemui psikolog sampai akhirnya Theo sendiri membuat Shishi lebih kacau lagi.

“Shi, aku minta maaf!” Jemian menyusul dan memegang tangan Shishi.

“Aku minta maaf, aku gak maksud lecehin kamu.”

“Iya, kalian gak maksud lecehin! Cuma guenya aja yang kuno dan aneh!” teriak Shishi lagi.

Jemian sadar sudah melakukan kesalahan, dengan cepat ia menarik Shishi ke dalam pelukannya meski gadis itu terus memberontak, Jemian semakin mengeratkan pelukannya.

“Aku sayang kamu, Shi. Aku gak bisa mengelak lagi saat ini, aku gak bisa lihat kamu terluka dan sakit,” bisik Jemian di telinga Shishi.

“Gue pikir lo beda sama cowok lainnya, ternyata sama aja, bilang sayang sama gue saat lo sendiri punya Lia.”

Iya, selama ini Shishi salah menilai Jemian. Dan apa yang dikatakan Jeffano tentang laki-laki adalah benar.

tbc

GREED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang