46. Cerita

290 42 13
                                    

46
Shishi masih belum bisa berjalan karena lututnya yang sobek begitu dalam. Ia menggunakan kursi roda dan didorong oleh seorang perawat menuju sebuah pintu kamar rawat di sana.

“Saya gak akan mengganggu, Pak. Saya hanya ingin melihat dan dari sini,” ujar Shishi pada bodyguard yang menjaga kamar Jeni.

“Tapi jangan lama-lama!” balas si bodyguard dengan tajam dan Shishi mengangguk saja.

Gadis itu mulai mencoba berdiri meski dengan tertatih dan dibantu si perawat. Ia menatap Jeni yang terbaring melalui kaca kecil di pintu.

Bibirnya tersenyum samar, berharap Jeni segera sadar meski ia tidak mengenalnya sama sekali. Dan hati kecil Shishi berharap dirinya bisa tertidur seperti itu tanpa harus merasa beban yang selalu ia pikul tanpa orang tua.

Air matanya menitik, lagi-lagi mengingat Airin karena lebih memilih melahirkannya daripada mengaborsi dirinya dulu.

Jeni koma memang bukan karena aborsi, tapi karena kecelakaan setelah dirinya melakukan aborsi dengan paksa. Entahlah, Shishi jadi membayangkan apa jadinya jika Airin mengaborsi dirinya? Cerita hari ini pasti tidak ada.

Suara derap langkah terdengar semakin mendekat dan berhenti tepat di samping gadis itu.

“Shishi?” ujar si pria yang ternyata Theo ketika Shishi melirik padanya.

Shishi cepat-cepat mengusap air matanya dan kembali duduk, lalu meminta si perawat kembali mendorongnya lagi.

“Biar saya aja, saya kerabatnya,” ujar Theo yang dengan cepat mengambil alih kursi roda Shishi.

Si perawat tak punya alasan dan memilih pergi.

“Kamu kenapa?” Theo dengan cepat mengubah posisi di depan Shishi dan berjongkok. Raut kekhawatiran begitu terlihat di wajahnya.

Begitu sangat terlihat wajah Shishi yang banyak lebam.

“Gapapa, cuma jatoh,” jawab Shishi pelan, ia berusaha untuk tidak berkontak mata dengan Theo.

Theo menghela napas beratnya dan tetap tak mengalihkan pandangannya pada wajah gadis yang telah ia sakiti itu. Ia sadar kalau Shishi habis dipukuli dan ia tak akan bertanya lebih lanjut lagi.

“Kak Theo mau jenguk Kak Jeni, ya?” tanya Shishi akhirnya kembali menatap pria itu.

Theo mengangguk. “Kamu tau dia? Dari siapa?”

“Kakak pasti sayang banget sama dia, dia pasti bangun kok, Kak. Kakak bisa tebus semua kesalahan Kakak sama dia dari sekarang, dengan tidak menyakiti wanita manapun lagi.”

Theo terisak dan lagi-lagi melakukan hal seperti di sekolah kemarin yaitu mencium kedua tangan Shishi dengan menangis.

“Aku benar-benar sayang sama kamu, Shi. Kamu perempuan pertama yang bisa membuatku bangkit dari keterpurukanku setelah kehilangan Jeni,” ujar Theo dengan suara paraunya.

“Aku tahu aku brengsek, aku sama Airin gak ada perasaan apa-apa. Hubungan kamu sama dia pasti renggang gara-gara aku–”

“Udah, Kak. Jangan dibahas lagi, udah Shishi bilang udah Shishi maafin, kan?” potong Shishi mencoba mengangkat wajah Theo dan menatapnya.

“Shishi sama mama udah baikan, kok. Cuman dari dulu hubungan kami kayak gitu, jadi gak bisa digimanain lagi. Biarin mama mau lakuin apa, asalkan mama bahagia meski gak bersama Shishi.”

Theo semakin teriris mendengar itu, Shishi yang begitu rapuh tak seharusnya ia menyakitinya seperti itu.

“Aku tahu aku gak tahu diri, tapi apa ada kesempatan kedua buat aku memperbaiki semuanya?” tanya Theo mengusap sebelah wajah Shishi yang sudah dialiri anak sungai.

GREED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang