39. Duka

3.2K 151 0
                                    

[Happy Reading]

Setiap matahari terbenam adalah bukti bahwa segala sesuatu memiliki akhir.

__________


Keesokannya harinya, seperti biasa Rea selalu berjemur di bawah matahari saat jam 8 atau 9 pagi, tergantung cuacanya yang mendukung. Rea berjemur di balkon kamarnya dengan segelas air di tangannya. Elang sendiri sudah berangkat kuliah jam setengah 8 tadi.

Ngomong-ngomong soal Elang, dia memang bekerja sambil kuliah. Dia akan mulai bekerja setelah jam kuliahnya selesai, atau terkadang Elang juga memilih kuliah online karena pekerjaannya yang tidak bisa ditunda.

Awalnya memang Elang tidak akan melanjutkan pendidikannya, tapi dengan keras Rea menentangnya, karena bagaimanapun pendidikan Elang harus dilanjutkan. Rea sendiri tidak masalah jika harus kehilangan mimpinya untuk bisa kuliah di universitas impiannya, dia sudah senang dengan kehidupannya yang sekarang. Semoga saja begitu.

Setelah dirasa sudah cukup lama berjemur Rea langsung masuk ke dalam dan menutup kembali pintu balkon. Dan langsung membersihkan tubuhnya.

Beberapa menit kemudian Rea keluar dari kamar mandi dengan memakai daster. Dia merasa lebih segar dan langsung berjalan keluar kamar menuju dapur.

Disaat Rea hendak membuat bolu tiba-tiba bel apartemennya berbunyi terus-menerus. Sebelum membuka pintunya Rea sempat mengintip di lubang yang ada di pintu, untuk berjaga-jaga saja.

"Sintia" sapa Rea saat membuka pintunya.

"Re"

"Kamu kenapa?" tanya Rea saat melihat wajah Sintia yang panik.

"T-tante Fifi meninggal"

Deg


***



Pada akhirnya semuanya akan kembali kepada sang penciptanya.

Disinilah Rea berada, ditempat peristirahatan Fifi yang terakhir. Pakaian hitam mendominasi orang-orang yang ikut berdoa untuknya.

Tepat di samping makam Fifi terdapat sang anak yang terus menangis dan tak rela jika sang Bunda telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Satu-persatu orang yang ikut mendoakan Fifi mulai pergi meninggalkan makam, terkecuali Rea, Sintia, dan beberapa orang terdekat Fian.

"Hiks...Bunda" tangis Fian tak bisa berhenti, ia bersimpuh di hadapan makam Bundanya yang masih basah.

"Fian, ayo pulang! Udah mau hujan" ucap Yuna -Mama Danis, sahabat Fian.

"Tante duluan aja! Fian masih pengen disini" balas Fian tanpa menoleh sedikit pun.

Yuna menghela nafasnya, "yaudah, tante tunggu di mobil"

"Tante duluan ya" pamit Yuna kepada Rea dan Sintia.

"Iya tante"

Fian masih betah memandangi nisan Bundanya dengan tatapan kosong. Lalu matanya beralih menatap dua gundukan tanah yang berada di sebelahnya, dua makam yang terdapat nisan tertuliskan nama Fion dan Firoz -ayahnya.

"Jangan nangis mulu, lo ngga malu sama Fion yang ngetawain lo diatas sana" ucap Danis mencoba mencairkan suasana hati Fian.

"Ngga peduli" acuhnya.

Dengan perlahan Rea mendekat ke arah Fian dan ikut bersimpuh di sebelahnya, meski sedikit susah untuk bersimpuh karena dirinya yang sedang hamil.

"Aku turut berdukacita" ucap Rea.

Rapuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang