50. Luka

2.4K 61 0
                                    

[Happy Reading]

.

__________


Elang masih meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah mimpi. Tidak mungkin Rea meninggalkan nya, tidak mungkin dia meninggalkan anaknya. Deraian air mata terus mengalir deras di pipinya. Hatinya hancur melihat wajah pucat Rea, tangannya sedari tadi tak lepas menggenggam tangannya.

"Rea" Elang terus terusan bergumam nama Rea.

Bayinya sudah dibawa oleh perawat untuk dibersihkan. Dengan terisak pelan Dewi mendekat ke arah anaknya yang terlihat begitu terpukul atas kepergian Rea, Dewi memeluk tubuh Elang dan mengusap bahunya yang bergetar hebat. "Ikhlasin Rea" 

Elang membalas pelukan Dewi dengan erat, isak tangis yang terdengar sangat memilukan itu memenuhi ruang persalinan. Di saat seperti ini ada beberapa perawat yang masuk ke dalam ruangan dan akan memindahkan Rea ke ruangan lain. Elang melepas pelukannya dan menghapus air matanya dengan kasar. 

"Istri saya mau di bawa kemana?" pertanyaan yang terlontar dari mulut Elang.

"Ruang operasi, pasien terdaftar sebagai pendonor mata untuk salah satu pasien disini" jelas salah satu perawat.

Elang sempat membulatkan matanya, pendonor mata? "Bagaimana mungkin Rea mendonorkan matanya, bukankah pendonor harus mendapat persetujuan juga dari keluarganya?" ucap Elang dengan bingung.

Perawat tersebut menganggukkan kepalanya, "Betul, keluarga pasien sudah menyetujuinya. Lebih tepatnya Ayah pasien sudah menyetujui pasien mendonorkan matanya untuk adiknya, kalau tidak salah bernama Gea" jelasnya.

Mendengar penjelasannya membuat Elang dan kedua orang tuanya dibuat diam. "Saya suaminya, dan saya tidak mengizinkan Rea mendonorkan matanya untuk Gea" 

"Maaf pak, sebelum pasien meninggal, pasien sudah menyetujui semua persyaratannya dengan Ayahnya"

Perawat-perawat itu membereskan ruang persalinan dan membawa Rea ke ruang operasi. Wajah Elang memerah, apa-apaan ini. Tangannya terkepal kuat, emosinya tiba-tiba saja memuncak. Bagaimana mungkin Rea melakukan hal ini tanpa sepengetahuannya. Rey hanya diam melihat Dewi yang menenangkan Elang. Ia berjalan keluar ruangan dan melangkahkan kakinya entah akan pergi kemana.

Rey melihat brankar Rea yang dibawa  masuk ke dalam ruang operasi dan disusul oleh perawat lainnya yang juga mendorong satu brankar, dia Gea. Rey menatap sosok pria yang seumuran dengannya yang duduk di depan ruang operasi dengan menunduk. Langkah kakinya berjalan mendekat ke arahnya.

"Pria egois" Ardi mendongakkan kepalanya saat mendengar ucapan Rey.

"Pria yang tidak pantas untuk disebut Ayah" decihnya.

"Tidak usah mengomentari hidup saya, ini hidup saya bukan hidup anda, jadi tidak usah ikut campur" balas Ardi dengan wajah datar, dia pun sudah merubah posisinya menjadi berdiri dan berhadapan dengan Rey yang juga memasang wajah datar.

"Saya juga sebenarnya malas mengurusi hidup anda, tapi anda sudah melukai hati anak saya, pasti menyenangkan kalau saya bisa membalas rasa sakit itu" 

bugh

Tanpa aba-aba Rey meninju perut Ardi, kemudian ia terkekeh pelan saat melihat Ardi yang kesakitan. "Rasa sakit itu belum seberapa dengan apa yang Rea terima dari perlakuanmu yang kasar"

"Mengorbankan satu anaknya demi menyembuhkan anaknya yang lain, dasar pria gila"

Ardi terkekeh pelan, "Saya tidak mengorbankan Rea demi Gea, tapi Rea lah yang rela berkorban untuk adiknya, karna apa? karna saya tau bahwa sebenarnya Rea masih sangat menyayangi keluarga kandungnya dan tidak ingin saya sedih"

Rapuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang