Chapter - 30

1.4K 67 0
                                    


Happy Reading!
________________

Deva memandang langit-langit kamar dengan perasaan sendu. Hari ini hari kedua ia menginap di kost Ajeng. Ia tak berniat untuk pulang karena orang tua dan kakaknya berada di rumah. Bukan tanpa alasan, gadis itu sedang tidak mood untuk di interogasi. Keluarganya termasuk orang-orang yang peka, hanya melihat wajah Deva sekilas saja mereka langsung tahu.

Ia melirik Ajeng yang tidur di sebelahnya dengan posisi berbalik memunggunginya. Pasti gadis itu sangat lelah bekerja seharian di cafe. Kemarin ia sempat mendapat telpon dari keluarganya di desa kalau ibunya sedang sakit. Jadilah Ajeng harus kerja ekstra sampai mencari kerja part time lainnya demi sang ibu.

Deva selalu kagum dengan gadis di sebelahnya ini. Dia adalah sosok gadis yang pekerja keras. Tak peduli sedang sakit pun ia tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan ibu dan adik perempuannya. Untung saja ia mendapat beasiswa di kampus, jadi ia tak terlalu memikirkan biaya kuliah.

Deva sempat menawarkan bantuan beberapa kali namun selalu di tolaknya. Ajeng selalu mengatakan, ia tak ingin ada hutang di antara persahabatan mereka. Selama ia masih bisa bekerja, ia akan berusaha sebisa mungkin. Benar-benar gadis yang kuat.

Deva mengambil ponselnya di sebelah bantalnya. Ia membuka aplikasi chat dan ia cukup terkejut dengan banyaknya pesan yang masuk. Namun ia lebih tertarik dengan sebuah kontak yang menelponnya hampir 50 kali. Ia lupa tadi memasang mode hening, jadilah ia tak mendengar suara ponselnya. Jarinya lalu menekan tombol untuk menonaktifkan mode hening.

Ponselnya berdering ketika ia hendak meletakkan kembali di atas nakas. Tanpa menunggu lama ia menggeser tombol hijau di layar.

"Dimana?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Andra.

"Di kost Ajeng"

"Gue di depan" Setelah mengatakan itu, sambungan teleponnya mati. Gadis itu bergegas bangkit dari ranjang lalu meraih jaketnya. Tak lupa ia menutup tubuh Ajeng dengan selimut sebelum ia keluar.

Tampak dari atas, sebuah motor terparkir di depan gerbang kost. Kamar Ajeng berada di lantai 2 dan kost-kostan ini menghadap langsung ke jalan, tentu sangat jelas Deva dapat melihat Andra yang tengah duduk di atas motornya. Kost Ajeng ini termasuk bebas, jadi tak ada larangan jika ingin keluar malam, karena rata-rata yang kost di sini sudah bekerja dan berkeluarga.

Saat membuka gerbang, Deva langsung di sambut dengan wajah datar Andra. Tampaknya laki-laki itu sedang di situasi yang tak menyenangkan. Laki-laki itu langsung turun dari motornya dan berjalan menghampiri Deva. Tanpa aba-aba ia langsung memeluk Deva. Ia yang mendapat perlakuan tiba-tiba itu tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

"Andra, lo kenapa?"

"Kenapa telpon gue gak di angkat? Gue kira lo kenapa-napa"

Deva terkekeh "Gue gapapa. Apa deh lebay banget" Ujar Deva

"Udah lepas dulu, gue gak bisa napas nih" Sebenarnya bukan sesak napas, melainkan dadanya yang mulai berdegup kencang sehingga ia takut jika itu sampai terasa pada Andra.

"Lo sakit?" Tanya Andra. Deva menggeleng cepat sembari mencoba menghindari tatapan Andra. Entah mengapa, tatapan bocah itu selalu membuatnya gugup. Bahkan bisa ia rasakan wajahnya panas dan mungkin saja sudah berubah merah. Untuk saja malam, paling tidak tak akan terlalu kentara.

"Lo tahu gue disini?"

"Emang lo punya tempat lari selain di sini?"

Iya juga, memang ia bisa kemana lagi selain di sini, batin Deva.

"Udah makan?" Deva mengangguk cepat. Namun sayangnya, perutnya tak berpikir demikian. Ia merutuki perutnya yang tak bisa di ajak bekerja sama. Ia benar-benar malu sampai ingin rasanya ia tenggelam di selokan aja. Andra sendiri hanya tersenyum geli melihat ekspresi Deva.

Andra melirik jam tangannya "Masih ada yang jualan, kita cari makan gimana? Gue juga lapar" Tak bisa menolak lagi, perutnya sudah membuka aibnya. Gadis itu mengangguk.

"Tapi gue ganti baju dulu" Ujar Deva sebelum lengannya di tahan.

"Ngapain? Ini aja udah bagus"

"Bagus lo bilang? Burik gini lo bilang bagus?"

Andra mengangguk "Iya cocok kok. Ini aja masih cantik di lo"

Sialan! Bisa-bisanya Deva bisa jatuh dalam gombalan Andra. Hanya memakai celana training dengan atasan hoodie bisa di katakan cantik? Apakah penglihatan laki-laki ini sedikit terganggu?

"Lo belajar gombal di mana hah?"

"Gue gak ngegombal, emang kenyataannya begitu"

Gadis itu tertawa kecil begitupun Andra. "Lo yang traktir" Andra mengangguk lalu Deva bergegas naik ke motor. Namun mereka ketahui, ada sepasang mata yang menatap keduanya tak suka dari kejauhan.

"Sialan!"

* * *

"Itu aja mas pesanannya?" Deva nampak geli melihat gadis yang tengah mencatat pesanan mereka tengah tersenyum manis pada Andra. Bahkan secara terang-terangan gadis itu menatap kagum laki-laki yang tengah melihat menu.

"Hm. Lo mau apa lagi?" Tanya Andra beralih pada Deva. Gadis itu menggeleng tanpa bersuara. Andra mengembalikan menu pada pelayan.

"Baik kakak, di tunggu ya pesanannya" Ucapnya dengan nada lembut yang membuat Deva bergidik. Caranya berjalan bahkan di buat sefeminim mungkin. Namun sayangnya percuma, Andra malah tak peduli dan memilih memainkan jepit rambut Deva.

"Eh, kayaknya dia suka lo deh" Ujar Deva.

Dahi Andra berkerut dengan ucapan Deva "Maksud lo?" Bola mata gadis itu menunjuk ke arah gadis yang tak berhentinya tersenyum menatap Andra. Andra yang melihat itu langsung memasang wajah datar dan kembali memainkan sesuatu di tangannya.

"Gimana Dra?"

"Gak tertarik" Ujarnya datar.

"Tapi cantik loh Dra, bening lagi"

"Masih cantikan lo" Deva diam dengan matanya yang mengerjap cepat. Laki-laki itu langsung menatap Deva dengan sorot mata yang sulit di artikan. Kepala gadis itu mundur ketika Andra mendekat.

"Ngapain lo?" Ujarnya takut-takut. Tampak ia juga menyeringai pada Deva yang membuatnya merinding. Wah, memang salah ia menggoda bocah ini. Tapi tak lama tatapannya berubah lembut. Tangan laki-laki itu pun terulur mengusap kepalanya.

"Gue lagi memperjuangkan cewek ini, jadi yang lain gak menarik di gue" Wajah Deva langsung merah mendengar kalimat manis itu. Entahlah, perasaan Deva sudah campur aduk. Sial, bagaimana laki-laki itu bisa mengatakan itu tanpa beban sedikitpun?

"Lo pikir gue gak deg-degan ngomong kayak gini?" Andra menyentil dahi Deva gemas, seakan tahu apa yang ada di pikiran gadis itu.

"Lo cenayang?"

"Muka lo gampang di tebak" Deva langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Andra tertawa sambil berusaha menahan tangan Deva.

"Jangan di tutup. Gue suka liat muka merah lo" Dengan kesal Deva menepuk keras lengan Andra

"Curang banget lo!" Andra tertawa melihat Deva yang mulai kesal. Mungkin sekarang itu akan menjadi hobi barunya.

"Deva, jangan gini ke cowok lain ya. Cukup ke gue aja"

"Dih, apa deh lo"

"Cie mukanya merah lagi"

"Diem lo!"

* * *

Jangan lupa Vote & spam komen ya guys ✌

Also

Thank you 💜

DEVANDRA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang