JANGAN LUPA VOTE YA!!!
•
•
•Aku menelan ludah dalam-dalam. Apa yang dikatakan Sabrina itu benar, dan jujur aku menyadarinya. Kata demi kata yang terangkai dalam bentuk puisi di buku catatan khusus itu terlebih dari sekadar nilai A.
Tapi nampaknya, tulisan adalah media yang memiliki banyak kekurangan. Mulai dari sudut pandang cara orang membaca, intonasi yang terbayang di kepala, hingga ekspektasi-ekspektasi yang lahir di luar nalar, semuanya berbeda untuk setiap orang. Hal itu menarik ulur pikiranku soal hobi atau bahkan cita-cita ini.
5 tahun silam, saat Bunda masih hidup, dia menasihatiku soal kekecewaan. Tentang anak laki-laki yang harus bertanggung jawab atas perasaan orang-orang di sekitarnya...tentang anak laki-laki yang tidak boleh mengecewakan orang lain.
"Laki-laki adalah makhluk yang memiliki tanggung jawab paling besar. Nanti kalau Abang sudah dewasa, perasaan orang-orang di sekitar Abang menjadi tanggung jawabnya Abang. Abang tidak boleh membuat orang lain kecewa. Terutama perempuan, Bunda dan Kak Tiara utamanya."
Nasihat itu... sudah 5 tahun lamanya menempel di kepalaku. Kini nurani sudah tak peduli lagi dengan perasaan sendiri. Selama orang lain baik-baik saja, aku akan selalu terlihat baik-baik saja.
"Ayahku punya penerbitan buku besar di Ankara, Kahfi. Aku juga hobi menulis sejak kecil. Sudah 2 buku karyaku diterbitkan di sana. Kalau kamu berminat, puisi-puisi ini sangat berpotensi untuk diterbitkan menjadi buku! Aku bisa membantu."
Bola mataku membulat. Memantaplah rasa kepercayaan diriku detik itu. Perkataan Sabrina sungguh menjungkalkan kejutan di seluruh penjuru kepala. Sungguh, ini bukan sekadar tawaran biasa. Penerbitan? Buku? Potensi? Tapi... kami baru saling mengenal beberapa jam.
"Wah, ide bagus itu, Sabrina. Kahfi ini memang berbakat anaknya." Azzam yang sedari tadi tidur sambil menutup wajah tiba-tiba bangkit. Rupanya dia menguping percakapan dari tadi.
"Baiklah, kalau kamu berminat, ini nomor teleponku, Kahfi. Hubungi saja nanti." Sabrina tersenyum manis, menjulurkan secarik kertas berisi nomor teleponnya.
Aku mengangguk, hanya diam, membalas senyum. Oh Tuhan, hari itu kujuluki dengan hari bertemunya 2 keberuntungan. Sudah sejak SD dahulu aku ingin sekali menjadi penulis, punya banyak buku-buku karya sendiri, seperti Ayah. Ya, seperti pria yang hilang itu, ketika putra kecilnya mulai berakal matang.
Ada sekitar belasan buku yang Ayah tulis sendiri, semuanya terpampang rapi di toko-toko buku, terpajang angkuh dalam lemari kaca di ruang tamu, dibaca oleh tiap saudara yang berkunjung ke rumah, sungguh membanggakan sekali. Rasanya menyenangkan menjadi penulis seperti yang kuekspektasikan pada Ayah.
"Hmm... kami izin balik duluan ya, Kahfi, Azzam. Ayah Matin sudah menjemput." Sabrina pamit. Lagi-lagi tersenyum, perlahan bersama Matin di belakangnya melangkah hilang keluar dari kelas.
"Itu namanya peluang, Fi. Jangan disia-siakan! Coba sini, minta nomor teleponnya." Azzam menepuk-nepuk bahuku, sok memberi semangat, ujung-ujungnya malah merampas secarik kertas berisi nomor telepon Sabrina. Mulutnya seketika tertawa lebar.
Sabrina gadis yang cantik, baik hati, pintar, berprestasi, keluarganya pun keluarga terhormat. Dia bagai malaikat yang hadir dalam hidupku. Hari itu adalah hari pertemuan 2 keberuntungan. Keberuntungan yang tidak pernah bisa bersatu. Keberuntungan yang tidak beruntung.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Spiritual"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...