⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!
•
•
•Kini sudah 1 jam berlalu. 3 sobat pria yang tadi menemani di belakangku berpindah ke sofa ruang rawat. Jenderal dan Ghava terlelap, sedangkan Fathur hanya diam sambil mengamati Azzam. Aku terus memberi cerita kepada pria di ranjang rawat itu. Entah hal-hal apa yang sudah kusampaikan, semuanya adalah usaha untuk membuat Azzam bersuara.
"Kita makan siang dulu, ya? Nanti habis makan kembali lagi ke sini." Suara Mbak Regina muncul setelah 20 menit menghilang bersama Bang Armand di luar. Dia mengajak kami makan siang sekaligus membangunkan Jenderal dan Ghava yang terlelap.
Aku dan anggota Sobat Pria terkecuali Azzam lekas beranjak dari tempat duduk. Di saat itulah, di saat aku hendak berjalan menyusul Mbak Regina serta 3 Sobat Pria lain yang sudah di luar ruang rawat, tanganku tiba-tiba tercegah. Sepucuk tangan lemah berselimut pucat dengan infus yang tertancap menahanku.
Kepalaku sontak menoleh ke belakang, menatap pria muda pemilik tangan lemah yang pucat itu. Siapa lagi kalau bukan Azzam? Kini posisinya telah berubah. Matanya menatapku sayu. Dengan wajah dibaluri kepucatan, dia menggeleng, memohon agar aku tidak pergi untuk saat ini.
Aku sudah tahu Azzam pasti akan melakukan hal itu. Aku juga tahu siapa yang hanya ingin diajaknya bicara saat itu. Aku pun tahu siapa orang-orang yang dia harap tidak mendengarkan kalimat-kalimat yang ingin dia lontarkan.
Hanya akulah satu-satunya orang yang ingin dia ajak bicara. Hanya aku yang paling mengetahui sebab dan nasib dibalik kondisinya saat itu, meski selalu kuusahakan untuk tetap berprasangka baik dan menjauhkan dugaan-dugaan buruk yang menghantui kepala.
Tubuhku kembali menduduki bangku di sebelah ranjang rawat. Para insan yang baru keluar untuk makan siang tadi tidak menjemputku kembali. Mereka paham tentang hal ini. Semua mengerti bahwa Azzam hanya ingin berbicara denganku saat itu dan Azzam tidak ingin percakapannya didengar oleh yang lain.
"Terima kasih, Fi. Terima kasih sudah menutupi aibku." Sungguh, pria itu benar-benar berbicara setelah berpuluh menit tertahan di pangkal tenggorokannya. Kalimatnya sedikit menekan dadaku.
"Aku tahu, sejak hari keberangkatan, saat kau duduk bersamaku di pesawat, kau sudah mulai mencurigaiku." Azzam berhenti sejenak, terbatuk. Duh, benakku tahu betul apa yang akan dibahasnya saat ini. Rasanya begitu penasaran tapi takut untuk mendengarkan—sebuah kejujuran dan keterbukaan, yang sedikit-sedikit sudah sempat kusadari dulu.
"Kau mengetahuinya, Fi. Dimulai ketika aku menunjukkan buku tentang ruqyah mandiri itu, lalu ketika aku melantunkan doa-doa saat kupikir semua penumpang pesawat sudah terlelap. Kau, kau sungguh telah mengetahui semuanya, Fi. Aku yakin banyak dugaan di kepalamu tentangku, dan aku pun yakin apa yang kaudugakan padaku semuanya adalah benar. Kau sama sekali tidak salah menduga, Fi. Kau juga kan, yang pertama kali menyadari kondisi kamar mandi di rumah?" Azzam memandang sendu, penuh kelemahan dalam ikatan suaranya.
Aku hanya mengangguk. Kemudian menundukkan kepala setelah merasa sedikit janggal menatap sorot matanya.
"Dokter tidak menemukan sakit apa pun di dalam tubuhku. Sama sekali. Dehidrasi ringan yang tadi kita dengar itu juga hanya gejala biasa karena aku belum minum dari kemarin sore. Jadi memang bisa dibilang aku tidak mengidap penyakit medis apa pun saat ini, Fi." Azzam menepuk pundakku.
"Lalu apa, Zam? Sakit apa kau sebenarnya? Benar kata Bang Armand tadi, mungkin dokter yang salah memeriksa. Aku sendiri yang melihat keadaanmu tadi subuh, ketika tubuhmu tegang, urat di wajahmu menonjol, darah dari mulutmu mengalir, jadi tidak mungkin hanya dehidrasi!" Aku membalas tegas. Mengapa Azzam terlalu percaya pada dokter yang tampak tidak telaten itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Spiritualité"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...