⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!
•
•
•"AAAAAAA!!!" Aku menyampak sepeda sesampainya di taman danau biru, berteriak amat kencang. Suaraku menggema. Burung-burung yang bertengger di pohon cemara beterbangan melarikan diri. Kesabaranku sudah hampir habis. Aku memukul-mukul meja taman yang terbuat dari batu.
100.000 kata yang telah kutulis dalam naskah itu sirna, lenyap begitu saja hanya karena kelalaian orang lain. Aku menangis, tangisan penuh kelelahan, mengacak-acak rambut, memukul-mukul kepala. Mengapa dunia begitu membenciku? Mengapa dunia begitu tak sudi melihatku bahagia, melihat hidupku berjalan tenang?
Aku mengutuk diri. Tidakkah cukup kepergian Bunda dulu menjadi kehancuran bagi hidupku? Belum lagi ditambah dengan rahasia kematian Ayah, patah hati atas cinta kepada Azizah, kepergian Azzam! Tidak cukupkah itu semua wahai, semesta? Aku menampar-nampari wajah. Oh, kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga harus mengalami semua ini?
"Kahfi!" Seseorang memanggil dari arah pintu masuk taman. Aku menoleh sekilas. Itu Jenderal. Dia berlari ke arahku.
"Hei, kawan, hei tenanglah! Tenanglah, Fi!" Jenderal menahan tanganku yang gemas hendak menyakiti diri. Aku terisak-isak. Jenderal sepertinya habis mendengar teriakanku.
"Istighfar, Fi, istighfar!" Jenderal mengelus-elus bahuku. Napasku tersengal. "Thur! Tolong ambilkan air minum!" Jenderal berteriak kepada Fathur yang sedang berjalan menuju ke arah kami. Yang diteriaki berputar, berlari kembali ke rumah.
Tak lama Fathur datang bersama Ghava sambil membawa segelas air minum di tangannya. Jenderal memaksaku untuk minum. 3 Sobat Pria mencoba menenangkanku, menguatkan. Setelah emosionalku mereda, mereka bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku akhirnya menceritakan semua, segala hal yang belum mereka ketahui hingga ke kisah Ayah yang berhubungan dengan kematian Azzam kemarin.
Wajah-wajah mereka penuh iba mendengarkan ceritaku. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Demikian maksud tatapan mereka. Lihatlah, mereka yang bukan siapa-siapa saja terkejut mendengar semua cerita itu, apalagi aku.
"Kami masih ada di sini, Fi. Kami selalu bersamamu. Kau tidak perlu terus bersedih. Aku akan membantumu menulis ulang cerita itu." Fathur mencoba menghibur.
Aku akhirnya sedikit lebih lega setelah dikuatkan. Mereka benar-benar membantuku. Untuk yang kedua kali, kini aku menyadari suatu hal yang belum pernah kusadari sebelumnya. Mereka, 3 Sobat Pria begitu berharga dalam perjalanan ini, dalam alkisah ini. Aku tidak akan pernah mampu menyelesaikan berbagai masalah tanpa mereka, tanpa Jenderal yang selalu menghibur, tanpa Fathur yang selalu peduli, tanpa Ghava yang selalu pandai mencairkan suasana.
Sampai kapan pun aku berjanji tidak akan melepaskan salah seorang dari mereka. Aku tidak akan membiarkan salah satu di antara mereka pergi, tidak akan membiarkan kejadian seperti Azzam dahulu terulang kembali. Aku berjanji, sungguh.
^^^
15 Desember 2017
Pertengahan bulan ke-12, akhirnya aku sempurna telah menutup diri dari hal-hal yang mengingatkan pada kesuraman hari-hari kemarin. Aku menutup diri dari Sabrina, juga dari Matin. Semua kulakukan bukan semata-mata demi memuaskan rasa kesalku atau dendam, aku hanya tidak ingin kembali hancur mengingat persoalan naskah, persoalan Azzam.
Tidak ada teman dekat lagi di kelas. Tidak ada obrolan dengan orang Indonesia. Sekarang aku benar-benar memfokuskan diri dalam memfasihkan kemampuan bahasa Turki. Pekan depan ada ujian akhir sebelum masa liburan pergantian tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Spiritualité"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...