⚠️JANGAN LUPA VOTE!
•
•
•Hening suasana meja makan kami mengundang banyak pikiran-pikiran di kepalaku. Sudah 2 tahun lamanya aku tak dapat melihat sosok Bunda. Namun sebabnya jelas. Wanita yang amat kucintai itu pergi dijemput maut.
Aku teringat dengan Ayah, laki-laki yang meninggalkanku saat masih kecil, kira-kira 9 tahun yang lalu—saat aku masih duduk di bangku SD kelas 1. Aku tidak pernah tahu bagaimana kabarnya selama ini. Tidak satu detik pun selama 9 tahun ke belakang kulihat wajah tampannya.
Sampai akhirnya Bunda menikah lagi dengan laki-laki lain, Ayah belum kunjung datang menemui aku atau pun Tiara. Tiap bulan pria itu selalu mengirimkan uang kepada kami untuk kebutuhan dan keperluan hidup. Hanya dengan pengiriman uang itulah aku dan Tiara dapat menganggap bahwa dia masih ada, tanpa ada komunikasi, mengetahui nomor telepon, atau pun sosial media yang ia punya.
Di mana Ayah sekarang? Bagaimana kabarnya? Apa yang sedang ia lakukan? Pekerjaannya? Bersama siapa dia tinggal? Entahlah, aku dan Tiara tidak pernah mengerti maksud semua ini.
"Kak, kamu ingat dengan Ayah?" Setelah merenung cukup lama akhirnya pertanyaan itu melesat juga.
"Ingatlah. Aku kan anaknya." Tiara membalas lucu.
"Bagaimana kabar Ayah sekarang, ya?" Mataku memandang redup.
"Untuk apa memikirkan itu, Bang? Aku terkadang bingung melihat pikiran laki-laki zaman sekarang. Mulai dari Ayah sendiri, teman-temanku, entah kenapa semuanya punya tingkah-tingkah sendiri, aneh, menjengkelkan. Tidak ada yang benar-benar bisa duduk diam menjalani hidup dengan tenang. Cuma kamu yang bisa, Bang." Tubuh Tiara tegap secepat mulutnya berkata. Ini sebuah pembahasan yang menggejolakkan amarahnya.
"Istighfar, Kak. Jaga omonganmu. Yang kamu bilang itu Ayah kita sendiri. Dari kecil kan kita juga tidak pernah tahu alasan apa yang membuatnya menghilang seperti sekarang. Jangan mudah menyimpulkan, dong. Banyak juga kok di hidup ini perempuan-perempuan yang hobi membuat penyakit." Aku membantah.
"Kakak hanya lelah, Fi. Ayah menghilang seperti sudah mati. Habis Ayah menghilang, Bunda menikah lagi dengan Om Firman. Kamu tidak sadar, semenjak Bunda meninggal, Om Firman hobi sekali hilang-hilangan? Dia sibuk seperti tidak memedulikan kita. Terutama aku, anak tiri perempuannya." Amarah Tiara memuncak.
Seketika gerik seluruh wajahku membeku. Tiara menggambarkan sebuah penyakit mendalam yang dia alami dari laki-laki. Om Firman, dia adalah ayah tiriku, seorang laki-laki yang menikah dengan Bunda setelah Ayah menghilang 1 tahun. Selama ini, hubunganku dengan Om Firman baik-baik saja. Dia tinggal bersama kami, walau memang bukan dari nafkahnya kami hidup.
"Kamu pernah berpikir untuk cari Ayah tidak, Kak?" Pertanyaan itu keluar dengan lembut, menyesuaikan Tiara yang sedikit panas.
"Mencari? Sudah cukup, Bang. Dari dulu aku terus berusaha cari Ayah, bahkan sampai sekarang, dan hujung-hujungnya sia-sia, menguras tenaga, menguras pikiran, melelahkan!" Tiara menatap malas.
"Tapi, Kak, Abang kadang suka berpikir, selama ini Ayah kan selalu kirimkan uang untuk kita setiap awal bulan, dan kenapa jumlahnya bisa selalu sesuai dengan apa yang benar-benar kita butuhkan? Misal bulan lalu Abang butuh uang lebih buat beli sesuatu, mungkin Abang lagi sakit dan butuh beli obat, atau bayar sesuatu keperluan, pasti uang yang Ayah kirimkan selalu lebih. Aneh. Kamu tidak sadar, Kak? Kadang Ayah juga kirimkan uang tidak sesuai jadwal, tiba-tiba ditambah di tengah bulan, ketika Kakak atau Abang sedang membutuhkan uang tambahan. Aneh sekali, kan?" Kuusahakan untuk memadamkan amarah Tiara. Sekaligus berdiskusi tentang sebuah keanehan besar yang kami kecil-kecilkan selama ini.
"Hmm... kalau itu aku juga sering kepikiran," Tiara memandang ke bawah.
"Nah, terus kesimpulannya bagaimana?" Alisku mengerut tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Espiritual"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...