⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!
•
•
•"Jangan menangis lagi, Zam. Kau pasti kuat." Aku menepuk-nepuk pundak Azzam.
Pria di sebelah diam sejenak, menghapus air yang sudah bersimbah di wajahnya. Dia benar-benar sakit. Hatinya tertusuk sangat dalam. Sulit untuk menjelaskan semua situasi ini. Kisah Azzam tak pernah sampai di akal manusia.
"Aku tidak tahu, Fi. Aku tidak tahu apakah aku bisa menghadapi semua cobaan ini ke depannya. Semua masalahku terdengar begitu sederhana. Tapi yang sesungguhnya terjadi jauh dari kata sederhana." Pria itu kini berbalik, kembali berada dalam posisi yang sama dengan setengah jam lalu.
"Sabrina menunggumu, Zam." Kalimat itu spontan keluar dari mulutku. Susunan kata yang mengandung harapan besar akan lahirnya semangat pada pria di ranjang rawat itu.
"Maksudmu?" Azzam kembali menolehkan kepalanya ke arahku.
"Sabrina mencintaimu." Dengan keyakinan yang terikat mati di dalam hatiku semenjak mendengar jawaban Sabrina tadi, kalimat itu keluar begitu indah, begitu halus sampai di dalam telinga Azzam.
Azzam seketika terdiam. Wajahnya menunduk ke arah bawah. Senyum tipis terbentuk di sana, merah merona hadir samar-samar di wajah pucatnya.
Pria itu mendongak menatapku setelah 1 menit terdiam. "Tapi, Fi..." Tepat ketika Azzam hendak menyanggah ucapanku tadi, dering telepon muncul begitu nyaring dari dalam kantong celana.
Belum selesai masalah mengenai kesehatan pria di ranjang rawat itu, kini sebuah masalah baru sudah berdiri di hadapanku secara bersamaan. Tanganku cepat mengeluarkan ponsel. Nama "Gheisa" tertera di keterangan penelepon. Itu adalah nama sahabat Ashima, seorang guru yang juga mengajar di sekolah anak-anak Indonesia. Jariku lincah mengusapkan layar, mengangkat telepon itu.
"Halo Kahfi, ini Gheisa. Tolong aku, Kahfi! Audrey baru saja sampai di sekolah, banyak darah di bajunya! Baru aku panik ingin bertanya apa yang terjadi, dia tiba-tiba saja pingsan. Sekarang di sekolah hanya ada aku dan 2 guru lain. Mereka sedang mengontrol keadaan anak-anak agar tidak panik. Apa yang harus kulakukan sekarang, Kahfi? Banyak darah di sini. Audrey tidak bisa bangun." Dengan napas terengah dan suara bergetar disertai isakan tangis, gadis bernama Gheisa itu menjelaskan.
Sekujur tubuhku lemas seketika, wajahku memucat, amat panik mendengar hal yang disampaikan Gheisa. Oh Tuhan, masalah apalagi ini? Kepalaku beralih ke Azzam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Hanya ada ekspresi panik, cemas, bingung, serta khawatir, yang terpancar saat itu.
"Kau harus pergi sekarang, Fi." Azzam yang sedari tadi mendengarkan ungkapan Gheisa dalam telepon ikut mendesak.
Wajahku semakin mengerut. Aku tahu bahwa aku harus pergi sekarang juga menuju lokasi Ashima. Permintaan tolong Gheisa itu tidak bisa disanggah dengan alasan apa pun. Tapi, bagaimana mungkin aku akan meninggalkan Azzam seorang diri saat ini dengan kondisinya yang tak kalah prihatin?
"Pergilah, Fi. Pertolonganmu sangat dibutuhkan di sana. Jangan khawatirkan aku. Bahkan di sini ada suster yang bisa datang kapan saja jika kupanggil." Azzam berkata lembut, berusaha meyakinkan.
"Maafkan aku, Zam." Tubuhku perlahan bangkit dari kursi, berbalik mengarah ke pintu keluar.
"Tenang, Gheisa, aku akan segara datang ke sana. Coba kau cari tahu dulu dari mana darah di baju Audrey berasal. Kalau ada luka terutama di kepalanya, tolong bersihkan segera dengan air lalu tutup lukanya. Jangan panik. Kalau kondisinya tidak memungkinkan segera kabari aku, biar kupanggil ambulans sekarang juga." Kakiku cepat melangkah keluar dari rumah sakit sembari menenangkan Gheisa yang terdengar begitu panik di balik telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Spiritual"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...