⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!
•
•
•"Dokter Khalil adalah seorang pahlawan. Sampai kapan pun kematian Dokter Khalil akan menjadi buah rasa bersalah paling besar dalam hidupku. Sungguh aku telah mengutuk diri atas kejadian yang telah berlalu itu. Kahfi, Kak Tiara, apakah kalian sudi untuk memaafkanku? Kumohon... izinkan... izinkanlah aku pergi dengan tenang..." Azzam semakin keras mencengkeram jemariku.
Aku mengangguk, begitu pula dengan Tiara. Kabar kematian Ayah begitu menyakitkan, tapi sejatinya tidak ada siapa-siapa lagi yang bisa diminta pertanggung jawaban termasuk Azzam, pria itu tidak melakukan kesalahan apa pun. Dadaku sesak. Tidaklah aku mengikhlaskan semua ini demi melihat tubuh lemah tak berkuasa sosok lelaki di hadapan.
"Terima kasih banyak, Fi, Kak." Tangan Azzam perlahan-lahan mendingin. Kepalanya bergerak menatap ke atas. Semua orang di ruangan itu sudah mengerti. Aku beringsut mendekati telinga Azzam. Ini adalah waktu kehilanganku yang berikutnya.
"Dokter Khalil, maafkan Azzam." Itu kalimat terakhir yang Azzam ucapkan sebelum aku membantunya melafalkan kalimat syahadat. Kamar rawat itu seketika diselimuti haru yang begitu dalam.
1 menit...
Usai.
Azzam telah pergi, pergi jauh meninggalkanku untuk selama-lamanya, menyusul Ayah, menyusul Javir. Dia meninggalkan senyum di tubuhnya yang sudah tak bernyawa. Aku menutup kedua matanya dengan lembut. Oh Tuhan, betapa menyakitkannya kematian pria ini. Aku menangis tak henti-henti.Semuanya sudah jelas, benar-benar sudah jelas
^^^
Pagi hari ketika matahari sudah berdiri di atas kepala, jenazah Azzam akhirnya dikuburkan. Sejak tadi malam aku sibuk membantu keluarga Azzam mengurus keperluan jenazah. Aku sama sekali tak menyangka dengan seluruh yang Azzam ungkapkan semalam sebelum dia benar-benar menghembuskan napas terakhir. Semua terjadi begitu cepat. Hatiku hancur, hancur sekali.
Azzam dimakamkan di pemakaman umum umat muslim. Sakit betul menerima kenyataan ini. Dunia lagi-lagi mempertemukanku pada kehilangan, kehilangan yang tidak akan bisa kembali, kehilangan Azzam sekaligus Ayah. Kabar ini sudah di dengar 3 Sobat Pria, Bang Armand, Mbak Regina, Matin, dan juga Sabrina. Hari itu semua orang berduka.
"Kau tahu, Fi. Ketika kau naik ke SMA, Azzam tiba-tiba datang menemuiku di pesantren. Dia bertanya banyak hal tentangmu. Dia benar-benar memantau pergerakanmu." Althar menghampiriku usai para pelayat meninggalkan tempat pemakaman. Aku tak merespons. Tatapanku kosong ke arah batu nisan makam Azzam. Mataku sudah kering.
Apa yang terjadi 9 tahun lalu dengan yang terjadi pagi ini betul-betul menusuk hati. Aku baru beranjak dari tempat pemakaman 5 jam setelah acara layat melayat selesai, ketika sudah tersisa aku sendiri di sana. Sesampainya di rumah, masih dengan jiwa yang sangat terpukul, Om Firman tiba-tiba memanggilku, menyuruhku berkumpul di ruang keluarga, juga dengan Tiara.
Kami duduk bersama di sofa ruang keluarga. Om Firman tampak mengacak isi tas di sebelahnya, mengeluarkan 4 lembar kertas, meletakkan semuanya di atas meja. "Ini surat yang ayah kalian tulis sebelum hari eksekusi. Satu surat untuk Tiara, satu surat untuk Kahfi, dan dua surat lagi untuk Bunda." jelas Om Firman.
Aku mengambil surat yang diperuntukkan untukku. Tiara ikut mengambil miliknya. Aku menarik napas, berusaha menjernihkan pikiran sejenak. Perlahan dua jemariku membuka lembar surat yang terlipat, mulai membaca.

KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Espiritual"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...