PULIH

366 54 0
                                    

⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!



Pagi itu keajaiban sungguh melayang menemui kamar rawat Azzam. Hal yang dikhawatirkan syukurnya tidak terjadi. Mungkin inilah istimewanya kalimat doa dan rasa yakin. Benar berarti bahwa takdir bergantung pada prasangka.

Suapan demi suapan kuantarkan ke mulut Azzam. Tidak ada hal buruk yang terjadi, semua berjalan mulus. Azzam bercerita banyak hal selayaknya sosok yang kukenal dahulu. Dia menceritakan kejadian-kejadian aneh yang dialaminya semenjak pulang ke Indonesia. Aku sedikit ngilu menyimak cerita Azzam, semuanya terdengar asing. Dia begitu semangat bercerita, walau dengan berbisik, tak ingin didengar yang lain, Althar, ibunya, atau Pak Salim.

"Boleh aku bertanya sesuatu, Zam?" Usai Azzam bercerita panjang lebar dan bubur di mangkuk pun sudah tandas, aku memeberikan penawaran. Azzam yang tengah mengelap bibirnya dengan tisu berhenti, menatapku lamat-lamat. Apa?

"Apakah kau ingin bertemu Sabrina?" Aku menatap Azzam ragu-ragu, takut pertanyaan ini menyinggung perasaannya. Tapi yang terjadi justru terbalik, Azzam tersenyum takzim, menepuk lemah bahuku. Ini sebenarnya adalah pertanyaan ibu Azzam, aku hanya bantu menyampaikan.

"Sebenarnya aku tidak butuh dipertemukan siapa pun untuk mengatasi permasalahan ini, Fi, apalagi dengan perempuan yang berpihak kepada laki-laki lain. Kehidupan di Turki membuatku belajar banyak hal. Sabrina telah mengajarkanku makna keikhlasan, aku sungguh sudah mengikhlaskannya." Azzam menatap ke atas, tersenyum tipis. Tak lama dia menarik bajuku, meminta mendekat. Ada sesuatu yang ingin pria itu bicarakan, sesuatu yang tidak ingin didengar siapa pun di ruangan itu selain aku.

"Kau tahu, Fi? Aku bertahan selama ini demi menunggu kehadiran seseorang. Tapi kehadiran orang itu bukan untuk mengatasi penyakitku, karena sejatinya penyakit ini rumit untuk dipecahkan, dan aku juga sudah ikhlas atas musibah yang telah menghancurkan hidupku ini. Aku sudah terlanjur berutang budi pada orang itu. Aku bersumpah tidak akan pernah menyerah untuk hidup selagi orang itu belum datang." bisik Azzam.

Aku mengerutkan kening, hendak bertanya, tapi Azzam langsung mendahului, menyindirku, "Kau tidak akan bertanya siapa orang itu, bukan?" Baiklah. Aku mengangguk, mungkin ini urusan pribadinya. Tapi soal menyerah untuk hidup, mengapa?

"Tapi apa maksudmu barusan? Kau ingin menyerah? Menyerah atas apa? Hidupmu? Bukankah kau tahu rahmat Allah begitu besar, Zam? Jutaan janji kehidupan bertebaran di luar sana. Apakah kau lupa bahwa Allah adalah Tuhan yang maha kuasa? Tetapi—tetapi bagaimana jika orang yang kaumaksud itu benar-benar datang?" Wajahku tegang dengan sorot mata jengkel. Suasana obrolan ini berubah seketika. Yang menarik perhatianku tentang ucapan Azzam bukan soal siapa sosok yang ditungguinya, tetapi tentang menyerah. Lagi dan lagi, menyerah atas apa?

Azzam menarik napas. "Fi, selama ini aku selalu merasa kehidupanku yang masih bertahan dan penyakit aneh ini adalah bentuk rahmat yang Allah berikan. Perlahan aku mencoba menanamkan pemahaman yang hampir tidak pernah dipahami seluruh umat manusia. Dengan adanya penyakit ini, aku lebih mengenal surga, Fi." Mata Azzam berbinar menatapku.

"Aku telah melewati perjalanan panjang untuk terlepas dari penyakit ini, tapi hasilnya selalu nihil. Ketika aku tahu tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan semua ini, pemahaman itu akhirnya muncul. Dan ketika semuanya hampir berakhir, Allah menurunkan rahmat berikutnya, Fi. Aku diberikan waktu agar semua dapat selesai dengan penuh kedamaian. Apalah yang kauharapkan lagi dari hidupku, Fi? Apakah kau buta dengan penyakit ini? Semua orang bahkan sudah menerima kenyataannya, semua orang sudah pasrah, sudah menyerah." Azzam tersenyum sakit, setetes air tampak terjatuh dari matanya. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan keras, berusaha tidak mengerti, berusaha tidak memahami maksud ucapannya barusan.

DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang