⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!
•
•
•"Zam?!" Aku menatap heran ke arah Azzam. Yang dipanggil segera kembali ke posisi awal, menunduk, tak menoleh sedikit pun.
"Ada apa ini?" Bang Armand ikut mendekat. Satu tangannya mencengkeram bahu Azzam.
"Kau punya masalah dengan Sabrina?" Aku bertanya pelan. Yang ditanya hanya diam. Tatapannya terlihat mengandung benci teramat dalam. Napas pria itu sedikit engah. Siapalah yang tidak heran melihat perilaku Azzam? Padahal jelas gadis yang baru saja dia kasari adalah pujaan hatinya sendiri.
"Kenapa tidak pernah cerita kepadaku jika ada masalah, Zam? Padahal kita selalu bersama-sama." lanjutku penuh rasa penasaran. Azzam hanya membalas dengan gelengan kecil.
"Ceritalah, Zam." desakku. Pria di ranjang rawat menggeleng kembali. Aku menghela napas.
Baiklah, aku paham kenapa Azzam tak mau bercerita. Pasti dia tidak mau didengar oleh Fathur terlebih lagi Bang Armand. Kulambaikan tangan kepada Bang Armand dan juga Fathur, lembut memberi kode menyuruh mereka untuk pergi sebentar. Tak butuh waktu lama untuk menyadarkan dua pria itu. Dengan cepat Bang Armand dan Fathur melangkah keluar dari ruang rawat.
Azzam perlahan mengangkat kepalanya. Keningnya mengerut sambil menatapku tajam. "Kau yang membawa perempuan itu ke sini?"
Aku menggeleng. "Dia datang sendiri. Tadi kami tidak sengaja berpapasan di lobi."
"Mau apa dia ke mari?" Azzam bertanya lagi.
"Pertanyaan omong kosong macam apa ini, Zam? Jelas dia ke sini ingin menjengukmu, ingin melihat kondisimu. Dia mencintaimu, Zam. Sungguh! Tega sekali kau kepadanya." Aku menjawab sedikit kesal. Azzam terdiam, menundukkan kepala.
"Kalimatmu terdengar indah, Fi. Tapi apa selama ini kau tidak sadar dengan perempuan itu? Atau mungkin kau pura-pura tidak sadar?" Azzam berkata dingin. Aku semakin heran mendengar ucapannya.
"Maksudnya?" Aku sama sekali tidak mengerti dengan tingkah dan ucapan Azzam. Hampir saja kusimpulkan bahwa pria itu sedang berada di alam bawah sadarnya.
"Perempuan adalah ujian. Sungguh, jika aku tahu ternyata jatuh cinta adalah hal yang sangat berisiko, maka aku tidak akan pernah semudah ini menaruh hati pada perempuan." Azzam menelan ludah. Tatapannya sendu lurus ke depan.
"Aku menyesal telah jatuh cinta, Fi. Harapan itu telah pupus dan sungguh merusak pikiranku. Semoga Tuhan tidak melaknatku karena hati ini sempat kubagi dengan perempuan yang tidak ada gunanya itu." Azzam berhenti. Tangan kirinya mencengkeram kuat pagar ranjang. Entah emosi apa yang ia rasakan, aku sungguh tak mengerti.
"Ceritalah, Zam. Apa masalahmu sebenarnya?" Aku membujuk halus, menatap penuh permohonan. Azzam akhirnya mengalah, menarik napas, hendak mengungkapkan sesuatu.
"Aku tidak punya masalah dengan Sabrina. Aku tak punya persoalan dengan perempuan itu. Aku bermasalah dengan diriku sendiri, Fi, dengan hatiku, dengan cintaku. Kenapa harus kusisihkan ruang di hati ini untuk orang yang tidak mencintaiku? Kenapa pula waktu itu kubiarkan diriku terjerumus dalam cinta yang berakhir memberantakkan iman dan pikiranku?" Azzam menggerutu. Kepalanya menggeleng-geleng penuh rasa sesal.
Aku diam mencerna ucapannya. Tidak mencintai? Apakah Sabrina yang Azzam maksud tidak mencintai? Tapi, bukankah baru kemarin Sabrina menunjukkan ekspresi berbunga-bunga itu? Bagaimana pula dengan wajah khawatir penuh rasa kasih sayang yang kulihat saat berjalan di koridor ruang rawat tadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Espiritual"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...