GURU?

605 120 0
                                    

⚠️JANGAN LUPA VOTE YAA!!!


"Makan saja, Kahfi. Tidak apa-apa, tidak perlu takut. Saya bukan binatang buas loh." Ashima berseru bingung sedikit sebal. Wujudnya kembali datang ke meja ruang VIP, 15 menit setelah mengantarkan daging panggang cokelat tua.

"Apa boleh?" Aku mengernyitkan dahi. Ragu.

"Ya boleh lah! Tenang saja. Makanan itu spesial untukmu. Sudah saya pesankan kepada teman pegawai lain sebelum kita sampai di sini. Ini daging sapi panggang spesial, khusus untuk guru agama saya...kamu." Senyum Ashima sempurna melebar. Aku tertawa kecil.

Sejak kapan gadis itu menganggapku gurunya? Guru Agama? Detik itu, berbagai macam hipotesis hadir di kepala. Simpulan-simpulan sok tahu. Sok mengerti. Tetapi, kenapa harus aku? Kenapa harus laki-laki berusia 17 tahun ini yang mengajarkannya Islam? Negeri tempat dia memijak adalah negeri yang kental akan budaya Islam. Negeri yang ratusan tahun silam menjadi penggenggam kekhalifahan Islam seluruh dunia. Lantas, kenapa pelajar pendatang ini yang harus dijadikan pengajar? Pengenal? Guru? Entah apalah sebutannya itu.

Ashima terus meyakinkan. Berusaha menyuruhku makan. Tubuhnya kini duduk di bangku seberang. Satu meja. Dia berbeda dengan pelayan-pelayan lain. Hanya gadis itu yang tidak mengenakan celemek seragam kerja. Padahal saat mengantar daging panggang tadi, dia masih menggunakan celemeknya. Entahlah, aku juga tidak mengerti.

Akhirnya karena terus dipaksa dan diberikan penjelasan, aku menyentuh hidangan itu. Daging sapi panggang spesial, menu yang biasanya ditunggu berjam-jam.

"Kamu tahu, Kahfi? Maksud saya mengajakmu seperti ini?" Ashima memandang antusias. Wajahnya merah, penuh lukisan kegembiraan.

Aku hanya menggeleng, tidak tahu, memandangnya penasaran, bingung, terheran-heran. Tangan Ashima tidak lama mengeluarkan korek api, menyalakan—menjulurkan ke depan wajahku.

"Selamat ulang tahun, Kahfi!"

Seketika wajahku memerah, merah padam, diam seribu bahasa. Kaget, bingung, malu...berbaur banyak emosi kala itu. Aku sungguh tak menyangka atas kejutan gadis di hadapan, terkaget melihatnya menjulurkan korek api, bingung karena gadis itu tiba-tiba bisa mengetahui ulang tahunku, terlebih malu dengan pandangan orang-orang di ruangan VIP yang kini tertuju pada meja kami.

"Tunggu di sini sebentar, Kahfi!" Ashima sekarang bangkit. Korek api dimatikan. Tubuhnya berbalik, berlari kecil ke dapur masak. Dia akhirnya kembali ke meja selang 1 menit, membawa kue berbentuk lingkaran dengan tulisan "Selamat Ulang Tahun, Guruku!" dalam Bahasa Turki. Aku mengerutkan dahi. Lagi-lagi guru.

"Tapi, Ashima..."

"Iya, Kahfi. Saya tahu ulang tahun kamu sudah lewat 2 hari. Tapi, tidak ada salahnya, kan, untuk tetap dirayakan?" Ashima memotong. Tersenyum lebar.

"Bukan, bukan itu maksud saya—"

"Kamu ingin bertanya saya tahu dari mana? Iya, kan? Hahaha, sudah jelas dari Armand dan Regina, Kahfi. Setelah saya ikut kalian berkeliling kota waktu itu, Armand tahu kalau kita sudah saling mengenal sebelumnya. Dia sibuk bertanya kepada saya, dan akhirnya, Armand sendiri yang memberi tahu soal ini. Ulang tahunmu!" Wajah Ashima berseri.

Tubuhku mematung. Tahu betul dia bahwa itu pertanyaan yang ingin kuberikan. Lucu sekali.

Sungguh, ini bukan soal berapa lama kami berkenal, bukan soal pertemuan yang baru berangsur selama beberapa hari. Bukan. Bukan soal itu. Justru tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Ini soal keantusiasan. Ada hal yang benar-benar Ashima butuhkan dari diriku. Tentang semua itu. Tentang sebutan-sebutan itu. Guru, pengenal, pengajar, ustaz?

DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang