⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!
•
•
•"Masuklah, Al-Kahfi." Seorang kakek tua di dalam ruang rawat Azzam menyuruhku masuk. Aku yang baru dibuat terkejut melihat pemandangan menyakitkan di dalam sana patah-patah berjalan masuk.
Kakek tua itu adalah Pak Salim, dia duduk di sebuah sofa dekat jendela. Pemandangan menyakitkan berada beberapa meter dari sofa tempat Pak Salim duduk. Di ranjang rawat, tampak seorang laki-laki 18 tahun yang amat kukenal, terbaring lemah ditemani ibunya yang duduk di kursi sebelah ranjang. "Azzam..." lirihku tak kuasa menyaksikan.
Tubuh Azzam menyusut drastis, kurus bukan main. Wajahnya pucat, tangannya pucat, seluruh bagian kulitnya pucat. Matanya merah, seperti orang kelelahan, tidak tidur. Di tangannya aku melihat ada beberapa luka terbuka, bekas-bekas darah yang mengering.
Aku berjalan mendekati ranjang, menyalami Pak Salim dan ibu Azzam takut-takut. Om Firman ikut bersalaman dengan Pak Salim. Pria di ranjang rawat menatap ke arahku, kosong, tatapan penuh kehampaan. 10 detik, 15 detik, air perlahan mengalir dari pelupuk mata pria itu. Dia lemah menggerakkan tangannya, berusaha memberikan lengannya kepadaku.
"Kahfi, kau datang dari Istanbul? Terima kasih, Fi, sudah datang jauh-jauh demi mengunjungi mayat yang hidup ini. Aku selalu merindukanmu." Air mata Azzam sungguh deras. Tangannya melambai-lambai, berusaha memelukku. Aku membungkukkan badan, memberikan tubuhku kepadanya.
Pemandangan di kamar rawat begitu menyayat hati. Bagaimana mungkin selama beberapa waktu belakangan aku tidak mengetahui kondisi sahabatku sendiri yang sudah seburuk ini. Lihatlah, lihatlah wajah Azzam yang penuh keletihan, penuh kesedihan, penuh harapan atas kehidupan biasa-biasa saja yang amat ia impikan. Aku menyentuh lembut lengan Azzam. Tulang... ya, rasanya seperti menyentuh tulang dibungkus kulit.
"Azzam, kamu makan dulu ya, Nak?" Ibu Azzam menawarkan sambil mengangkat semangkuk bubur. Yang ditanya menggeleng. Di ubin ruangan, tampak beberapa nampan berjejer dengan mangkuk-mangkuk bubur yang masih utuh.
Wajah ibu Azzam melesu, menyerah. "Kahfi, Ibu tidak mengerti lagi bagaimana cara agar Azzam bisa makan. Dalam kondisi seperti ini asupan makanan mestinya sangat penting. Tapi tiap kali Azzam akan makan, tubuhnya selalu menolak. Dia selalu memuntahkan hal-hal yang lebih dari makanan yang masuk. Kadang keluar darah, keluar batu, keluar benda-benda kecil seperti potongan jarum, Ibu tidak mengerti sama sekali maksud dari seluruh jalan kehidupan ini. Sudah 3 hari tidak ada yang masuk ke dalam tubuh Azzam selain cairan infus. Dokter juga sudah menyerah. Tidak ada yang bisa dibantu tim medis selain menyalurkan asupan cairan lewat infus ke tubuh Azzam." Ibu Azzam memandang letih.
"Bu, kenapa lantainya kotor sekali? Ibu belum membersihkan?" Azzam membalas dingin, hirau dengan perkataan ibunya barusan. Aku sama sekali tak mengerti dengan yang dia maksud.
"Apa lagi yang perlu dibersihkan, Zam? Lantainya sudah bersih. Ibu sudah pel berkali-kali dari tadi. Tidak ada yang kotor." Ibu Azzam menjawab lemah. Azzam yang merasa tak puas dengan jawaban ibunya beringsut ke pinggir ranjang, menatap hamparan ubin ruangan.
"Kenapa lantainya banyak tanah, Bu? Ibu pasti belum membersihkan. Azzam belum ingin pulang, Bu! Azzam masih ingin kuliah di Turki. Azzam belum meminta maaf kepada orang-orang..." Nada bicara Azzam meninggi. Ibu Azzam menunduk dalam, akhirnya terisak mendengar perkataan Azzam barusan.
Aku tak begitu mengerti maksud kata-kata yang Azzam lontarkan. Hanya menebak-nebak hingga asumsi di kepala membuat hatiku sakit. Pulang? Azzam belum ingin pulang ke mana? Oh Tuhan, hatiku terluka oleh tekaan-tekaan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Spiritualité"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...