PEMANDU

960 167 4
                                    

⚠️JANGAN LUPA VOTE!


Akhirnya, kini sudah sampai di lembar kertasku. Kalimat yang dibacakan oleh pria dewasa berkopiah merah barusan adalah kalimat yang aku tulis. Ya, itulah kalimat yang selalu kugenggam dalam menjalani hidup ini. Semua hal kulakukan untuk menjauhkan diri dari prasangka buruk terhadap Tuhan.

Kujulurkan tangan kanan ke atas, tersenyum tipis menatap seluruh pria di lingkar meja.

"Silakan!" Pria dewasa berkopiah merah membalas senyum.

Aku menarik napas.

"Assalamualaikum! Perkenalkan nama saya Sayyid Muhammad Al-Kahfi, biasanya saya dipanggil Kahfi. Saya lahir di Medan tanggal 19 Agustus tahun 2000..."

"Wah, dua hari lagi ulang tahun, dong?" Fathur memotong perkenalanku. Seluruh pria di sana tertawa. Aku hanya mengangguk, tersenyum malu, kemudian melanjutkan perkenalan.

"Memang benar, 2 hari lagi saya ulang tahun yang ke-17. Selama saya sekolah, saya sempat loncat kelas 2 kali sama seperti Fathur. Saya lulus SMA di umur 16 tahun beberapa bulan. Bisa dibilang kalau normalnya saya seharusnya naik kelas 11 sekarang, hahaha. Sekarang saya tinggal di Jakarta berdua bersama kakak perempuan saya. Ibu saya sudah meninggal saat saya SMP, dan Ayah saya bekerja di luar negeri." Aku menelan ludah, berhenti sejenak.

Bekerja di luar negeri? Hatiku ragu mengatakan hal itu. Keberadaan Ayah tidak pernah jelas. Sekalipun dulu dia dan almarhumah Bunda meyakinkanku, tapi di negara mana?

"Saya karakternya mudah berbaur, suka bercanda, bisa dibilang saya orangnya cukup seru. Tapi saya juga lumayan serius. Saya tidak suka dengan orang yang tidak bisa menjaga komitmen, janji, dan omongannya. Saya mencari pertemanan yang bisa saling merangkul dan pertemanan yang adem ayem saja." Aku berhenti. 5 pria di sana menatap serius.

"Masyaallah, Mas Kahfi. Jadi Mas Kahfi itu hanya tinggal bersama Kakaknya?" Pria dewasa berkopiah merah bertanya.

"Iya, Pak." Aku menganggukkan kepala.

"Bagus nih. Pasti hidupnya sudah mandiri. Boleh tuh, Mas Kahfi ajarkan ke teman-teman yang lain bagaimana pengalamannya hidup berjauhan dengan orang tua," ucap pria dewasa berkopiah merah sembari menarik kertas terakhir. Aku hanya tersenyum mendengarkan.

"Baik, teman-teman, berarti ini kertas terakhir. Langsung saja saya bacakan. 'Ujian Tuhan memang menyakitkan, tapi kebodohan paling mutlak bagi umat manusia adalah membunuh diri sendiri.' Waduh, seram sekali ini motivasi hidupnya. Punya kamu berarti ya, Mas?" Kedua mata pria berkopiah merah membelalak, menyeringai menatap kalimat di dalam kertas terakhir.

Seorang pria yang duduk di antara Azzam dan Fathur tertawa-tawa melihatnya. Dialah pemilik kertas itu. Motivasi hidupnya membuat kami semua cukup terkejut.

"Coba, Mas, jelaskan ke kita kenapa bisa seram sekali, nih, motivasi hidupnya?" Pria dewasa berkopiah merah menatap penasaran.

"Hahahaha... tidak, Pak. Itu sebenarnya saya asal saja memasukkan kalimatnya. Saya juga tidak tahu kalimat yang memotivasi hidup saya. Jadi saya ambil dari unggahan di media sosial saja, Pak." Yang ditanya tertawa-tawa. Pria itu mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto unggahan berisi kalimat yang ia tulis di kertas.

"Ah, kamu ini! Saya pikir kamu punya masalah hidup apa begitu sampai-sampai motivasi hidupnya menghindari bunuh diri." Pria dewasa dengan kopiah merah memukul kecil meja di hadapan, bergurau marah.

"Ya sudah kalau begitu, langsung perkenalan diri saja, Mas!" Pria yang menulis kertas terakhir dipersilakan.

"Baik, terima kasih. Assalamualikum, nama saya Muhammad Jenderal Husain Al-Haddad, biasanya dipanggil Jenderal. Saya kelahiran 1998 tanggal 2 Maret di Kota Malang. Di sini mungkin saya paling tua di antara yang lain, makanya saya tadi sempat kaget mendengar yang lahir tahun 2000... serius. Saya lulus SMA di umur 19. Sekarang saya masih tinggal di Kota Malang bersama orang tua dan 6 orang adik saya. Memang saya anak sulung pakai 'banget' istilahnya seperti itu, dan di sini ternyata yang saya kira sudah terlepas dari adik-adik saya, eh malah ketemu dengan adik-adik yang baru. Tapi tidak apa-apa, di sini adik-adik saya cuma 4, kalau di rumah ada 6, jadi lumayan sudah berkurang 2. Untuk karakter, saya orangnya mudah bergaul, tidak suka membesarkan masalah, saya suka sekali bercanda. Yang pasti saya orangnya seru! Sudah, sekian perkenalan dari saya, terima kasih." Pria bernama Jenderal itu berhenti.

Seisi meja tersenyum diiringi tawa sepanjang mendengarkan perkenalannya. Memang benar seperti yang disampaikan, dia sangat suka bercanda.

"Masyaallah, Mas Jenderal. Si paling tua, ya? Mas Jenderal ini sepertinya kurang seru kalau tidak kita berikan panggilan kesayangan. ABANG! Nah kita panggil Mas Jenderal Abang saja! Setuju semuanya?" Pria berkopiah merah membalas gurauan Jenderal sepanjang perkenalan tadi.

"Setuju, Pak. Abang Jenderal!" Fathur membalas paling kencang. Aku, Azzam, dan Ghava mengangguk antusias.

"Baik kalau begitu, kita panggil Abang Jenderal saja, ya? Boleh, Mas Jenderal?" Pria dewasa berkopiah merah meminta persetujuan kepada sang pemilik nama. Mulutnya tersenyum licik menatap Jenderal di seberang meja.

"Silakan saja, Pak. Panggil saya kakek juga tidak masalah, kok," Jenderal tersenyum lebar.

Kami tertawa.

Di hari keberangkatan itu, aku ingat betul bagaimana cara Jenderal bergaya. Pria itu seperti ingin pergi ke pantai. Ia hanya mengenakan kaos hitam motif dedauanan dengan sehelai kalung logam tipis di lehernya. Bahkan sebelum bapak pemandu kami datang, Jenderal mengenakan celana pendek. Untungnya sempat ditegur oleh Fathur dan dengan sigap dia langsung mengganti celana panjang. Hahaha. Seperti itulah sosok Abang dalam pertemanan kami berlima.

Foto Jenderal di hari keberangkatan :

"Baik, berarti sudah semua, ya, perkenalannya? Tinggal saya sendiri nih yang belum mengenalkan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Baik, berarti sudah semua, ya, perkenalannya? Tinggal saya sendiri nih yang belum mengenalkan diri." Pria dewasa berkopiah merah menghela napas.

"Kenalkan anak-anak semua, nama saya Muhammad Fadli Syean, kalian boleh panggil saya Pak Fadli. Saya lahir di Magelang tanggal 2 Januari tahun 1974. Jadi ulang tahun saya hanya beda 1 hari dengan Mas Ghava, ya. Saya kuliah S1 di Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya, jurusan Sejarah. Kemudian lanjut S2 saya berkuliah di Universitas Negeri Yogyakarta ambil Pendidikan bahasa Inggris. Saya sempat menjadi guru SMA mengajar bahasa Inggris di Jogja dari tahun 1999 sampai 2009. Kemudian saya kerja di dunia travel, saya menjadi pemandu wisatawan di Jogja hingga saat ini. Saya di sini bisa dibilang hanya sebagai 'pengantar' kalian menuju Turki. Jadi ketika sampai di sana nanti, kalian akan bertemu dengan guru kalian dari beasiswa, kemudian besok saya akan kembali lagi ke Indonesia. Nanti kalau misalkan ada kendala atau hal-hal yang kalian bingungkan dan penasaran, boleh langsung tanyakan ke saya. Saya di sini akan siap sedia membantu kelancaran keberangkatan kalian." Akhirnya pria dewasa berkopiah merah memperkenalkan dirinya. Itulah Pak Fadli.

"Yah, Pak, berarti kita hanya sebentar bertemunya?" Jenderal menyeletuk, mencemberutkan bibir sok sedih.

Pak Fadli tersenyum pahit. "Ya begitulah. Banyak juga anak-anak beasiswa seperti kalian yang sempat saya bantu antarkan ke luar negeri. Nanti kalau boleh, kalian bisa bantu ikuti akun media sosial travel saya. Siapa tahu nanti ada yang berniat liburan ke Jogja begitu...?"

"Boleh tuh, Pak. Tapi tunggu saya punya anak, ya?" Jenderal menyeletuk.

"Waduh, si Abang ini ada-ada saja. Tapi monggo, Mas."

Kami semua tertawa.

"Ya sudah kalau begitu, saya sekarang mau check-inkan tiket pesawat kita dulu, ya. Kalian bisa berkenalan satu sama lain dulu di sini." Tubuh besar Pak Fadli bangkit dari kursi, berjalan pergi meninggalkan restoran.

^ ^ ^

"4 belanga lelaki. Mereka-lah saksi atas bahagiaku. Mereka pula saksi atas penderitaanku. Yang selalu menemaniku hingga serta-merta ujian melekat dalam hidup. Saat cobaan perempuan datang, dan hanya mereka yang selalu ada.."

- Kahfi -

DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang