PUISI

689 150 3
                                    

⚠️JANGAN LUPA VOTE YAAA!!!


Aku mengajak Azzam duduk bersebelahan di deretan bangku paling belakang. Dari SD dulu, bangku deretan belakang adalah spot favoritku di kelas.

Baik dalam hal belajar, bercanda-gurau, bangku belakang selalu memberikan sensasi paling berkesan untuk segala kegiatan. Mitos edaran tentang murid yang duduk di bangku belakang adalah murid tidak pintar selalu kupatahkan selama ini. Sejak kapan tolak ukur kecerdasan di hitung dari posisi bangku? Hahaha.

Tepat pukul 08:30, seorang laki-laki tua berhidung panjang masuk ke dalam kelas. Tubuhnya berisi dan tinggi. Topi merah marun dengan kaca mata berminus tebal membulatkan proporsi wajahnya. Dia berjalan sambil membawa buku berwarna biru dan beberapa lembar kertas, melangkah menuju meja khusus guru yang berada tepat di pojok kiri bagian depan kelas.

"Morning!" sapanya kepada seluruh siswa di dalam kelas.

Dia adalah Coach Ameer, wali kelas kami, laki-laki yang akan menuntun seluruh siswa di kelasku selama menempuh pendidikan bahasa Turki satu tahun ke depan. Orangnya tidak banyak bicara. Biasanya kalau tidak sedang jam pelajaran, dia hanya duduk terdiam di meja guru sembari membaca koran atau buku.

Hidungnya benar-benar mancung, panjang sekali. Kaca mata tebal yang ia kenakan mustahil jatuh atau terpeleset karena batang hidungnya yang panjang. Namun anehnya, Coach Ameer sering kali membetulkan posisi kaca matanya layaknya hendak jatuh. Aku sering menertawakan perangai anehnya itu dengan Azzam.

Hari ini tidak ada pelajaran, hanya perkenalan demi perkenalan dan membahas soal sistem sekolah yang akan berjalan singkat selama satu tahun ke depan. Bisa dibilang hari ini adalah kegiatan MOS (masa orientasi siswa) seperti di Indonesia. Namun namanya berbeda dan kegiatannya pun sedikit berbeda.

Jam pertama selesai pada pukul 09:50, hanya melakukan perkenalan dengan teman-teman sekelas mulai dari nama, asal negara, dan cita-cita. Kebanyakan siswa di kelas A berasal dari Pakistan, sekitar 9 orang murid.

"Hai! Kalian dari Indonesia?" Seorang siswi tiba-tiba muncul di depan meja Azzam, berbicara lancar dengan logat tanah air yang berjarak ribuan kilo meter dari tempat kami memijak. Wajahnya berseri, anggun dengan jilbab rapi model terikat di leher.

"Ya, kami dari Indonesia. Kamu orang Indonesia juga?" Mata Azzam seketika berbinar menatap perempuan berhijab biru di hadapannya. Ekspresi penuh keantusiasan.

"Iya, aku orang Indonesia. Tinggal di sini bersama keluarga pamanku."

"Kenalkan—"

"Saya Kahfi. Kamu?" Belum sempat Azzam memperkenalkan diri, sudah kupotong secepat kilat. Entahlah, aku antusias sekali bertemu orang Indonesia di sana, merasa seperti ada suatu keterikatan batin.

"Aku Cut Sabrina, panggil saja Sabrina. Senang bertemu kalian berdua." Gadis di hadapan tersenyum amat manis. Namanya sudah menggambarkan parasnya. Cantik sekali.

"Aceh?" Azzam menyela.

"Iya, Aceh."

"Wah, sama! Saya juga orang Aceh." Azzam tersenyum lebar. 2 wajah khas penduduk Serambi Makkah yang ketimur-tengahan di hadapanku itu saling berseri.

"Katanya di sini cuma ada 7 siswa Indonesia, berarti kamu orang yang ke-6?" Aku sedikit mengernyitkan dahi.

"Hmm, mungkin? Tapi aku berdua bersama sepupuku di sini. Kami orang Aceh."

DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang