FIRMAN

388 59 2
                                    

⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!


Ketika kumandang azan zuhur lenyap di gendang telinga, orang-orang mulai meninggalkan masjid, baru beberapa menit aku masuk ke dalam rumah sehabis ikut salat berjamaah di masjid perumahan, pintu depan tiba-tiba diketuk.

"Papa pulang!" Suara laki-laki dewasa terdengar dari luar. Aku berlari hendak membukakan pintu, Tiara yang sudah tahu hanya menoleh sekilas dari sofa ruang keluarga sambil menyaksikan tingkahku yang dianggapnya seperti anak kecil.

Di balik pintu, tubuh seorang laki-laki usia 42 tahun tampak tengah berdiri kokoh dengan setelan kemeja hijau lengan panjang dan celana bahan berwarna hitam. Aku tersenyum, menyambut, menyalim tangannya, padahal yang sesungguhnya tamu saat ini adalah aku. Laki-laki usia 42 tahun itu ikut tersenyum lebar, meraih pundakku, merangkul seperti kawan sepantaran.

Tidak, laki-laki usia 42 tahun itu bukan Ayah, dia Om Firman, ayah tiriku, laki-laki yang menikahi Bunda lepas Ayah pergi dan bercerai dengan Bunda 9 tahun lalu. Om Firman sudah kuanggap seperti ayah kandung sendiri. Kami dekat bukan main, sudah seperti teman, lebih khususnya anak dengan ayah kandungnya sendiri, terlepas dari yang kutahu bahwa lelaki itu bukanlah sumber nafkah keluarga kecil kami. Posisi Om Firman hanya sebagai pengganti figur Ayah yang telah hilang dahulu, dia menggantikan hampir seluruh kasih sayang seorang bapak bagiku dan Tiara.

Aku masih memanggilnya dengan sebutan "Om" karena sebelum Bunda dan Om Firman menikah, Bunda mengawali perkenalan baru antara putra-putrinya dengan sosok laki-laki yang akan menjadi calon suaminya itu dengan panggilan "Om". Hingga saat ini aku dan Tiara terbiasa memanggilnya dengan sebutan "Om", walau dia selalu menyebut dirinya dengan sebutan "Papa". Tapi tidak apa, Om Firman tidak pernah mempermasalahkan perkara itu.

"Hebat sekali anak lajang ini sudah jadi orang Turki sekarang! Lihat kulitnya sudah makin putih saja macam orang bule baru 3 bulan sekolah di sana!" Om Firman tertawa menatapku. Tiara dan Mbak Nirma yang menyaksikan ikut tertawa.

Sekejap melepas rindu, tawa mulai hilang, napas mulai ditarik, Om Firman kemudian menatapku lurus. "Kahfi, Abang sudah tahu, kan, mengapa Kakak dan Papa membawa kamu pulang?" Pembicaraan intens ini akhirnya dimulai. Aku mengangguk kecil, siap sekali hendak dipertemukan dengan Ayah yang telah hilang 9 tahun.

"Mari kita bicara sebentar. Kakak ikut juga sini, Papa ingin memperlihatkan sesuatu." Om Firman mengajakku dan Tiara masuk ke dalam kamarnya. Mbak Nirma yang tidak diajak ciut, beringsut pergi dengan langkah kecil. Om Firman menyuruh kami duduk di depan sepetak televisi tua yang tidak pernah dinyalakan bertahun-tahun.

Om Firman membuka laci lemari kamarnya, mengambil sebuah kaset video, lantas kembali ke tempat televisi, meletakkan kaset video yang diambilnya di sepetak alat pemutar. TV kemudian dinyalakan, beberapa tombol remot TV ditekan, kaset video pertama berjalan.

Seorang laki-laki usia 29 tahun mengenakan jubah dokter muncul di layar kaca bersama gadis kecil imut dengan rambut dikucir yang digendong.

"Halo kawan-kawan! Ini Ayah sedang bersama Kakak Tiara! Kakak Tiara habis belajar sistem pencernaan manusia, loh! Kata Bunda, Kakak Tiara sudah lama menunggu Ayah selesai operasi pasien, ya? Anak Ayah satu ini kangen banget digendong. Katanya kalau sudah besar, Kakak Tiara mau jadi dokter nih, kawan-kawan! Benar, tidak?" Laki-laki di layar televisi bertanya kepada putrinya yang masih menginjak usia 7 tahun. Yang ditanya mengangguk mantap.

"Ini ada Abang Kahfi juga. Abang sedang membaca buku bersama Bunda. Abang ini senang sekali belajar tentang hewan. Katanya kalau sudah besar, Abang ingin jadi dokter hewan! Nanti Abang akan mengobati hewan-hewan yang sedang sakit!" Laki-laki usia 29 tahun dengan jubah dokter putih beranjak ke sebuah sofa. Di sana tampak istrinya sedang bersama putranya yang masih berusia 5 tahun. Putra kecilnya tersenyum lebar ke arah kamera.

DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang