⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!
•
•
•"Saya takut kehilangan kamu, Kahfi. Saya takut kita berpisah. Saya mencintaimu. Apakah tidak sedetik pun kamu pernah sadar?" Ashima terus terang.
Tubuhku masih mematung, tidak menjawab. Pikiranku terasa kosong beberapa detik. Tidak pernah sadar? Haha. Bahkan sudah dari jauh-jauh hari aku menyadarinya. Tapi untuk apalah dibahas? Bukankah semua ini tujuannya untuk menjemput surga, bukan persoalan cinta? Aku memutuskan tidak menanggapi ungkapan Ashima barusan. Biarlah, biar gadis itu yang menarik sendiri benang putih yang terlilit di antara gulungan benang hitam pikirannya.
"Oh, apakah urusan ini baik, Kahfi? Sebenarnya bagaimana deskripsi cinta yang baik?" Sesuai dugaanku, Ashima akan bergelut sendiri dengan kalimatnya barusan.
Aku menghela napas panjang. "Cinta yang baik datang dari hati yang terjaga, Ashima. Cinta itu urusan hati, sedangkan hati adalah urusan Allah, maka jagalah hati untuk Allah, agar Allah datang-kan cinta yang terbaik." Gadis di sebelah seketika menunduk.
"Oh Tuhan, betapa malangnya cinta yang tumbuh di tengah sebuah perjalanan. Sedikit-banyak dianggap menggugurkan niat baik perjalanan itu, padahal sejatinya memang hati sendiri yang tidak dapat berbohong. Saya berjanji, Kahfi, jika semua ini berakhir dengan perpisahan, lantas saya dikembalikan ke desa, suatu saat nanti bila Tuhan menganugerahi saya seorang anak laki-laki, saya akan menamakannya dengan nama kamu. Kahfi! Ya, saya berjanji akan melakukannya." Ashima berseru mantap, begitu yakin dengan ucapannya.
Aku dibuat semakin terdiam. Tubuhku sedikit kaku. Ucapannya begitu indah, tapi sungguh kalimat itu akan bertaruh dengan waktu yang mendatang. Dia mengatasnamakan sebuah janji... sebuah JANJI. Aku tidak mempunyai banyak ide untuk membahas soal perasaan di hadapan orang yang mencintaiku sendiri.
"Bagaimana kalau berpisahnya bukan karena itu?" Kalimat itu spontan keluar dari mulutku. Tidak ada ide, sungguh.
"Berpisah bagaimana?" Ashima bertanya balik.
"Saya sudah tidak sanggup dihadapi kehilangan, Ashima. Biarkan setelah ini saya saja yang menghilang, saya saja yang pergi atas sebuah perpisahan yang tidak bisa kembali. Bagaimana jika suatu hari nanti saya meninggal, Ashima?" Aku memandang lemah. Pertanyaan ini terlontar begitu saja.
Ashima terdiam sejenak. Gadis itu memutar kepalanya, kembali menatap ke arah laut. Aku melihatnya menghela napas yang begitu panjang. "Kamu akan tetap menjadi pria yang paling saya cintai, Kahfi."
"Kamu sudah rela memberikan sebagian hidupmu untuk saya, untuk mengantarkan saya menjemput surga yang sebenarnya. Namamu akan indah di atas sana, Fi, dan jika kemudian hari saya menyusul, kamu akan saya junjung tinggi di hadapan Allah saat masa pengadilan." Ashima tersenyum menatap laut.
Sekujur tubuhku benar-benar terpaku usai mendengar jawabannya. Aku tertampar sendiri oleh jawaban itu. Apa yang selama ini telah kulakukan? Aku sama sekali tidak sadar telah membuat perempuan itu jatuh cinta begitu dalam. Dengarkanlah kalimat Ashima barusan, kalimatnya begitu menohok hingga ke ulu hati.
"Apakah kamu mencintai saya, Kahfi?" Ashima memutus kekosongan kepalaku. Aku menoleh ke arahnya. Apakah aku mencintai gadis itu? Entahlah, aku sudah tidak pernah peduli lagi dengan perasaan sendiri semenjak kejadian menyakitkan di depan rumah Azizah dulu.
"Saya tidak tahu." Aku menjawab singkat. Ashima menghela napas, menunduk lagi.
"Kahfi, pemandangannya bagus sekali, ya? Baru pemandangan di dunia saja sudah membuat kita terkagum-kagum, bagaimana jika di surga nanti? Apalagi ketika dipertemukan dengan Allah, ketika kita dapat melihat Allah." Ashima memutar topik pembicaraan. Aku yang ditanya hanya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Spiritual"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...