JAKARTA

565 65 6
                                    

⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!


Pesawat sempurna mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pukul 08:00. Aku menghela napas lega. Kutarik ponsel dari dalam saku celana, mengecek pesan atau telepon yang sekiranya masuk. Althar dan Tiara baru saja meneleponku. Baiklah, sudah saatnya membuka bagian alkisah baru.

Aku segera mengambil ransel dan tas oleh-oleh di tempat penyimpanan atas kursi. 15 menit, seluruh penumpang diizinkan turun. Selesai melewati tahap pengecekan paspor (imigrasi), aku segera menuju tempat pengambilan bagasi. Ada 1 koper yang belum diambil.

Tak lama usai mendapatkan koper, Althar mengirimku pesan. Katanya dia sudah menunggu di pintu kedatangan. Baiklah, aku segera menuju ke sana. Sampai di pintu kedatangan, puluhan orang tampak berdiri di kanan-kiri, menyambut penumpang yang baru tiba, mungkin saudara atau kerabat.

Di mana Althar? Dahiku mengerut, menatap ke kanan-kiri. Ramainya orang di sana membuat fokusku sedikit-sedikit teralih.

"Selamat datang, Anak bunda!" Sepucuk telapak tangan menyentuh bahuku dari belakang. Astaga, suaranya seketika menggetarkan gendang telingaku.

Althar! Aku berbalik badan. Persis di belakang, berdiri seorang pria 17 tahun yang tingginya sama persis denganku. Wajahnya tampak semringah. Aku mematung beberapa saat menatapnya dari atas hingga ke bawah. Hei, hampir tidak ada yang berubah dari pria itu, wajah timur tengahnya masih memancarkan ketenangan seperti dulu. Antusiasme kami berbuah peluk.

"Hampir 3 tahun kau tidak menghubungiku, Thar. Sombong betul kau semenjak jadi anak Sulawesi." Aku menepuk bahu Althar.

"Justru kau sendiri yang tidak bisa dihubungi. Sudah kucoba berkali-kali, nomor teleponmu tidak aktif. Kau juga tidak pernah menghubungiku. Kalau saja bukan karena kabar seminarmu waktu itu yang disebar pondok kepada alumni-alumni, mungkin aku tidak akan pernah bisa menemukanmu lagi sampai mati." Althar membalas tak terima.

"Hahaha, maaf, Sobat. 2 tahun terakhir sebenarnya aku sengaja merusak ponselku agar bisa fokus belajar. Kau tahu, berkat itu aku mendapat jatah loncat kelas bahkan diterima beberapa kampus top negeri dan luar negeri. 2 tahun di SMA, kusengajakan jadi bocah culun, tak peduli waktu belajar pagi, siang, malam." Aku membalas. Althar tertawa kecil.

"Terserah kau sajalah, Fi. Ayo, kau mau ke mana sekarang? Akan kulayani ke mana pun Putra Ibunda hendak pergi." Althar menarik koperku. Pertemuan ini benar-benar pertemuan pertama setelah lebih 2 tahun kami berpisah jarak tanpa komunikasi. Pertemuan dengan Althar yang menjadi pembuka petualangan ini cukup menyegarkan pikiranku yang acak-acakan menghadapi kehidupan Istanbul.

Aku mengajak Althar sarapan bersama di salah satu restoran besar di bandara. Kami menghabiskan hampir 2 jam untuk bercerita, saling bertukar kisah, tentang kehidupanku di Istanbul maupun kehidupan Althar di Palu, Sulawesi. Aku begitu antusias mendengar Althar bercerita soal kehidupannya, walau kalah antusiasnya dari pria itu ketika mendengar ceritaku yang penuh drama.

Althar bilang kini dia sudah mencapai 20 juz hafalan Al-Quran. Sudah lebih separuh dari satu kitab dia kuasai. Aku begitu takjub mendengarnya. Memang sejak kami SMP dulu Althar sudah dikenal sebagai anak yang gila menghafal. Apa pun bisa dihafalkannya. Al-Quran, kitab hadits, kitab tafsir, kamus, hingga buku cerita semua ia hafalkan detail hingga satu persatu kata-katanya.

Dia sebenarnya bisa saja menamatkan hafalan Al-Qurannya dari dulu, tetapi Althar memilih untuk menghayati satu persatu ayat kitab sebelum ia memutuskan lanjut menghafal ayat berikutnya. Coba saja tanyakan pada Althar sebuah surah dengan nomor ayatnya, pria itu bisa melafalkan bacaannya tanpa membuka kitab, ditambah dengan artinya, tafsirnya, hingga hadits yang berkaitan dengan ayat tersebut. Althar memang manusia robot. Otaknya lebih canggih dari gadget yang bisa menyimpan jutaan data. Ya, memang seperti itulah Althar.

DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang