⚠️JANGAN LUPA VOTE!!!
•
•
•Fadlan, anak kecil laki-laki yang melontarkan pertanyaan itu membuat aku dan Ashima tertawa. Bagaimana bisa anak usia 5 tahun menanyakan hal seperti itu, soal pacar, kekasih?
"Fadlan, Bapak itu adalah kakak laki-lakinya Bu Guru. Bukan pacar Bu Guru." Ashima menjawab halus, mencemberutkan bibir.
"Kakak? Kenapa wajahnya tidak mirip?" Anak laki-laki itu bertanya lagi.
"Nanti kamu tanyakan saja pada bapak itu. Sekarang waktu kita untuk belajar. Bu Guru tadi mau mengajak kalian naik gunung, kan? Ada yang mau ikut?" Tangan Ashima membelai lembut rambut bocah yang sibuk bertanya itu. Kemudian lanjut mengajar—menunjukkan foto-foto gunung kepada 8 anak kecil di hadapannya.
Selama berada di dalam kelas, aku mulai terbuka dengan Ashima, mengenal sedikit demi sedikit tentang dirinya, fakta tentangnya, karakternya, kebiasaannya.
Ashima ternyata putus sekolah semenjak lulus SMP. Gadis itu merantau ke Istanbul dari kampung halamannya untuk mencari pekerjaan. Kemudian bergabung dengan komunitas pecinta Indonesia di Istanbul, dan akhirnya banyak membantu untuk mengajar anak-anak Indonesia yang akan naik ke bangku sekolah dasar. Lukis alur hidupnya membuatku cukup terkesan.
Dia sebenarnya dipanggil dengan nama Audrey, bukan Ashima. Pantaslah saat Keenan memperkenalkannya dengan nama Audrey aku tidak yakin bahwa dia adalah gadis yang kutemui di kereta rute Jakarta-Surabaya waktu itu.
Nama Ashima pun ternyata hanya dipanggil olehku. Sungguh, dia sendiri yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun orang yang memanggilnya dengan nama itu selain aku. Aku tidak pernah tahu mengapa saat kami bertemu dulu dia memperkenalkan dirinya dengan nama Ashima, bukan Audrey.
1 jam habis di kelas super kecil itu, aku, Ashima, serta 8 bocah di dalamnya mulai beranjak keluar. Para siswa di sana ternyata hanya menghabiskan waktu 3 jam setiap 5 hari dalam seminggu untuk belajar, bermain, dan melakukan kegiatan peradaptasian. Mereka masuk sekolah pukul 12.00 dan pulang pukul 15.00.
"Bapak?" Suara bocah lelaki yang sibuk bertanya tadi muncul. Bocah yang bertanya soal pacar kepada Ashima. Tubuh mungilnya berdiri di depanku yang sedang menunggui Ashima ke toilet.
"Iya, ada apa?" Aku tersenyum seketika, mengajak bocah itu duduk di sebelah.
"Boleh aku bertanya?"
"Silakan. Tanya saja apa yang ingin kamu tanyakan." Aku merangkul lembut pundaknya, mempersilakan.
"Hmm, aku sering sekali melihat Bu Guru Audrey menangis diam-diam. Kadang-kadang di depan kelas, kadang-kadang saat sedang memakai sepatu, pernah juga Bu Guru Audrey menangis saat sedang makan siang bersama. Bu Guru Audrey selalu menunduk, tidak ada yang melihat, hanya aku. Tapi, tapi aku tidak tahu mengapa Bu Guru Audrey sering menangis. Aku sangat kasihan melihat Bu Guru Audrey. Tapi aku juga tidak berani bertanya. Apa Bapak tahu? Bapak kan kakaknya Bu Guru Audrey."
Perkataan bocah lelaki itu sempurna membuat sekujur tubuhku diam, membeku seketika. Menangis? Aku tidak tahu apa-apa tentang Bu Guru Audrey yang ditanyakannya. Bagaimana bisa tahu? Kami saja baru benar-benar berteman beberapa hari, dan yang kulihat dari Bu Guru Audrey itu hanya kegembiraan, keriangan, serta kesenangan.
Tetapi ini lagi-lagi bukan soal seberapa banyak hal yang kuketahui tentang Bu Guru Audrey dalam jangka pertemanan yang baru berjalan singkat. Ini soal empati terhadap hubungan antar manusia. Aku harus tahu soal ungkapan bocah lelaki itu. Perkara sering kali menangis-nya Bu Guru Audrey.
"Hei, Fadlan. Sedang apa kamu di sini? Mamamu tidak menjemput?" Tubuh Ashima muncul tiba-tiba, membuat bocah lelaki bernama Fadlan refleks berdiri kaget.
![](https://img.wattpad.com/cover/285291447-288-k901496.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Espiritual"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...