⚠️JANGAN LUPA VOTE!
•
•
•"Bang, dalam salat kita harus khusyuk. Abang harus benar-benar merasakan bahwa Abang sedang berhadapan dengan Allah, sedang berbicara dengan Allah!" Tubuh kecilku mengangguk sok paham, menatap berbinar-binar wanita yang amat kucintai memasangkan lobe putih di kepalaku.
"Bagaimana cara salat dengan khusyuk, Bunda?" Suara lengking lelaki kecil itu melesat cepat.
Wanita di hadapannya seketika tersenyum manis, sambil memasangkan sarung pada kaki kecil putranya. "Abang harus tahu terlebih dahulu, bahwa Allah berada di hadapan Abang saat Abang salat!"
"Allah kan tidak terlihat, Bunda. Bagaimana Abang bisa tahu bahwa Allah ada di hadapan Abang?" Lelaki kecil bertanya kembali.
Wanita di hadapan mengangkat tangannya, menyentuh lembut dada putranya. "Rasakan dari dalam hati Abang. Bacakan dalam sujud, 'Maha suci Tuhanku yang maha tinggi, dan memujilah aku kepada-Nya'."
"Oh, seperti itu ya, Bunda? Berarti, Allah itu tinggi! Benar, kan, Bunda?" Laki-laki kecil di hadapan tersenyum lebar.
Wanita yang amat kucintai tersenyum. Air tiba-tiba menyusut dari matanya yang indah. Perlahan tubuhnya berdiri, mengecup lembut kening putranya.
"Suatu saat... Abang pasti akan paham. Abang pasti akan menguasai semua hal itu. Ke mari Nak, Kahfi....."
^ ^ ^
"Mas!"
"Bangun, Mas!"DEG!
"Astaghfirullahaladzim!" Aku terbangun.
"Saya di mana?" Pertanyaan itu terucap pertama kali."Astaghfirullah, Mas! Ini kita sudah sampai di stasiun. Tadi Mas bilang kereta Mas akan berangkat jam 8 malam, kan? Ini sudah lewat jam setengah 8! Dari tadi saya bangunkan Masnya nyenyak sekali." Seorang pria terkekeh di kursi sopir.
"Astaghfirullah! Saya lupa! Maaf, Mas.. saya ketiduran." Baru kusadari tubuhku berada di dalam taksi, taksi yang mengawali kepulanganku ke Jakarta.
"Terima kasih ya, Mas! Saya sudah telat sekali ini! Maaf..." Buru-buru kulangkahkan kaki keluar dari taksi. Tanpa pikir panjang kuhempaskan uang Rp.200.000 kepada sopir di depan.
"Uangnya kebanyakan ini, Mas!?" Sopir taksi memanggil kala tubuhku sudah berlari terbirit-birit.
"Tidak apa-apa, Mas, Ambil saja." teriakku dari jauh.
"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah..." Mulut terus beristighfar sampai akhirnya masuk ke dalam kereta.
Aku adalah penumpang terakhir yang naik di kereta menuju Jakarta malam itu. Andai saja terlambat 1 menit, tubuhku akan tetap berdiri di tanah Surabaya hingga besok.
Saking terburu-burunya, aku tidak sadar dengan keberadaan penumpang yang duduk di sebelah. Kini kusempatkan diri untuk melihatnya usai meletakkan tas. Tidak, yang kali ini bukan Ashima.
Huh...
Hatiku terasa sangat letih kala itu. Kenyataan soal Azizah? Ya, sudah pasti karena hal itu. Aku sama sekali belum ikhlas merelakan perjuangan 2 tahun ke belakang. Andai kutahu semua ini akan terjadi, lebih baik tidakku katakan harapan bodoh sebelum berpisah dengannya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MANA KUMENJEMPUT SURGA? (SELESAI)
Spiritualité"𝘼𝙥𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙗𝙙𝙞 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙙𝙞𝙖𝙢 𝙙𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩? 𝘼𝙩𝙖𝙪 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙠𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙏𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣...