TRIGGER WARNING:
The story you're about to read contains themes or situations that may be upsetting to readers. Read at your own risk.
It's all fiction. Jangan menelan mentah-mentah segala informasi, khususnya tentang Covid-19 pada cerita ini. Jadilah pembaca yang bijak, ikuti yang baik dan abaikan yang buruk.
Junieloo adalah penulis cerita fiksi yang sangat mungkin memberikan "karangan" dalam tulisannya, sehingga tidak semua yang tertuang di sini murni menggambarkan realita walaupun ditulis berdasar keadaan sekarang. Contoh: penulis bisa mengubah keadaan dalam sekejap dan itu bukan hal mustahil.
Paham sampai sini? Jika iya,
Welcome! ^^
_
Seorang lelaki berparas rupawan terbangun saat mencium aroma masakan yang mengundang perutnya berbunyi. Masih dengan mata yang masih belum terbuka sempurna, sosok itu perlahan bangkit dari ranjang dan melangkah terseret-seret dengan sandal rumahnya menuju dapur.
"Wangi apa ini?" tanyanya dengan suara serak, khas bangun tidur.
"Tumis buncis. Isi kulkas kamu lagi nggak ada apa-apa." Perempuan berambut pendek seleher itu masih memunggunginya karena sibuk memindahkan sayur dari wajan ke piring.
"Aku pikir hari ini sarapan nasi goreng."
"Sarapan?" Perempuan itu menoleh dengan kening mengernyit dalam, tapi sedetik kemudian ia tertawa kecil. "Kamu pikir ini udah pagi ya, Ar?"
"Emangnya belum?" Lelaki bernama Ares tersebut kini dibuat bingung. "Jam berapa sekarang, San?"
"Ini jam 7 malam, Ares." Sandara melangkah ke arah meja makan dan meletakkan sepiring sayur yang telah dibuatnya, lalu menuntun Ares yang masih berdiri dengan muka bantal untuk duduk. "Ayo, dimakan. Kamu tidur dari siang, belum sempat isi perut kata mas Andi."
Mendengar nama sang manajer, sontak kedua mata Ares terbuka lebar. "Ya Tuhan! Ke mana dia?" Lelaki itu tampak begitu panik. "Aku ada janji—"
"It's okay, Ar. Mas Andi udah nitip pesan ke aku, katanya kamu nggak boleh update apa pun di media sosial malam ini." Sandara tersenyum saat Ares masih belum paham. Ia pun melanjutkan, "Mas Andi datang sendirian ke acara teman kamu itu. Dia bakal beralasan kalua kamu nggak enak badan."
"Ah ..." Ares manggut-manggut. "Syukurlah," ucapnya, merasa lega.
"Bukannya kamu seharusnya merasa nggak enak?"
"Aku cuma nggak enak sama mas Andinya." Ares mengembuskan napas. "Tapi untunglah, aku nggak perlu ke acara begituan. Party-party nggak jelas."
"Acara itu, kan, sebagai bentuk perayaan series kamu yang udah wrap," ujar Sandara sambal mengambilkan sepiring nasi untuk Ares.
"Aku bukan peran utamanya. Jadi, nggak begitu ngaruh." Ares mengulas senyum manis saat porsi nasi yang Sandara sediakan sesuai. Tidak lebih, tidak kurang. "Makasih. Kamu nggak makan?"
Sandara menggeleng. "Aku masih ada kerjaan. Belum cuci pir—"
"Duduk," titah Ares seraya menahan lengan Sandara yang berniat meninggalkan meja makan. "Temanin aku makan."
"Aku habis makanin sisa buah-buahan di kulkas kamu, Ar. Masih kenyang."
Alasan tersebut justru membuat Ares semakin tidak senang mendengarnya. "San, aku udah bilang berulang kali. Kalau kamu mau buah, beli yang baru aja. Pakai uang yang aku kasih. Kurang?"

KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomanceBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...