Untold 8

2.3K 493 46
                                        

Coba sini absen dulu sini, siapa yang masih setia sama cerita ini?

Oiya, mau minta maaf kalau selama menulis mungkin ada sikap atau ucapanku di author note maupun pas balas komen yang nggak enak. Entah kenapa, aku merasa di TTU ini banyak sekali kendalanya. Mulai dari laptop yang rusak, aplikasi Wattpad yang nggak bisa dibuka for the first time setelah diupdate, kehilangan banyak pembaca, dan masih banyak lagi.

Mungkin aku pernah menyakiti kalian secara nggak sadar, aku minta maaf ya. Tapi serius, you guys mean the world to me. Seperti yang aku selalu bilang di akhir chapter, "Love you" cause I really do. Tanpa kalian, Junieloo nggak akan ada.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca dan memaafkan diriku ya.
Terima kasih banyak yang sudah setia sampai sini.
Terima kasih kalian yang sudah menyukai karya-karya Junieloo.

Once again, I love you.
Happy reading!

🌓

Perempuan itu membuka pintu rumahnya dengan perasaan kacau. Sejujurnya, ia akan lebih aman tinggal di neraka sekalipun jika memang tidak ada tempat "pulang" untuknya. Karena setiap dirinya melangkah masuk ke dalam bangunan yang bukan miliknya tersebut, ia selalu dihantui rasa takut.

Sandara mengembuskan napas saat mendapati rumah tengah kosong. Lelaki itu memang jarang sekali pulang karena sibuk berjudi juga mabuk-mabukan di luar sana dari hasil keringat Sandara yang dirampasnya.

Ia tahu, ia tampak tidak tahu diri sekarang karena berharap pemilik rumah tidak pernah kembali. Semua itu demi keselamatannya sendiri. Namun, takdir yang baik memang selalu enggan berpihak padanya.

Sandara terkejut saat mendapati pintu kamar mandi terbeliak lebar dan menampilkan sosok yang sangat tidak ia inginkan kehadirannya.

"Oh, udah pulang lo." Kemudian lelaki itu mendekat dan melempar putung rokok di yang sudah pendek dari sudut bibirnya. Sandara bisa menduga jika kamar mandi yang tidak seberapa luasnya tersebut dipenuhi kepulan asap serta gulungan tembakau. "Mana uangnya? Sini, kasih gue hasil kerja lo selama dua bulan ini." Telapak tangan kotor sosok di hadapannya terulur dengan jemari bergerak-gerak, tidak sabar.

Melihat perempuan di depannya hanya bergeming, lelaki itu pun membentak, "BURUAN!"

Sandara nyaris melangkah mundur kalau saja suara di kepalanya tidak muncul. Suara yang telah lama tidak di dengarnya. Suara yang mirip seperti miliknya, tapi sedikit lebih berat.

"Nggak ada."

Lelaki itu menelengkan kepalanya. "Nggak ada?"

"Itu bukan hak lo," jawab Sandara dengan suara rendah.

"Bukan hak gue?" Lelaki itu berdecih dan menoyor kening Sandara dengan telunjuknya. "Perlu gue ingatin sama lo, ini rumah gue! Lo masih numpang di sini, Pelacur! Sini duit lo—"

Ucapan lelaki itu berhenti saat Sandara menepis keras tangannya. Tindakan yang berhasil membuat sosok tersebut murka. "Lo udah berani sama gue, hah?!"

"Sejak kapan gue takut sama lo?" Sebelah alis Sandara menukik. Dengan dagu terangkat, perempuan itu melanjutkan, "Jadi, begini perlakuan lo ke saudara gue selama gue nggak ada?"

Seakan menyadari sesuatu, lelaki di depannya langsung membalikkan tubuh Sandara tanpa izin dan menurunkan jaket jeans lusuh yang dikenakannya hanya untuk melihat area punggung yang tidak dapat ditutupi secara menyeluruh oleh tank top hitamnya.

Memastikan jika dirinya sedang tidak menghadapi orang yang salah.

"Gimana? Puas sama buktinya?" ucap Sandara, sedikit terdengar menantang.

The Truth Untold #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang