"Ar!"
Ares mengerjap-ngerjap saat tersadar dari lamunannya. "Ya?"
"Ditanya malah bengong!"
"Mas nanya apa?"
"Kok kamu tumben ke sini. Ada apa?" Andi berdecak. "Jangan bilang salah ngomong ya soal rencana itu? Kamu udah bilang belum kalau itu bagian dari kerjaan? Dibayar gitu."
Ares menggeleng. Masih terpikirkan reaksi Sandara yang menurutnya benar-benar memilukan.
"Ya pantas aja dia nggak mau. Coba kamu bilang, gajinya kamu naikin. Pasti dia nggak nolak!"
"Mas?" Ares tidak menanggapi ucapan Andi barusan. "Kayaknya betul kata Mas Andi. Majikan Sandara dulu pada jahat-jahat."
"Oh, iya? Kapan aku ngomong gitu?"
Ares langsung tersenyum masam mendengar respons Andi. "Waktu itu, Mas! Ah, ingatnya kerjaan mulu sih!"
"Ya bagus dong!" Andi mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan telunjuk. "Tanpa otakku yang hebat ini, jadwal kamu yang super riweuh itu pasti udah kacau! Keuanganmu juga pasti udah nggak keruan. Kamu lagi libur pun, nih kepala masih mutar ngatur sesuatu."
"Iya, iya. Si paling sibuk." Ares terkekeh. "Tapi, Mas, serius. Aku jadi penasaran soal tadi. Kayaknya dia punya trauma gitu ya?"
Andi pun mengerling jahil. "Hmm, ada apa nih? Hati-hati lho, Ar. Biasanya yang awalnya penasaran, ujung-ujungnya jadi berperasaan."
Kali ini gentian Ares yang berdecak. "Nggak mungkinlah."
"Kenapa nggak? Sandara tuh cantik lho." Andi mengangkat bahu. "Ya walaupun kurus sih."
"Jangan body shaming."
"Kamu duluan ya, Ar!"
"Kan, aku cuma bilang nggak mungkin. Mas Andi aja yang berasumsi alasannya." Ares lantas bangkit dari sofa ruang tamu Andi. "Omong-omong, makin bagus aja nih rumah. Kayaknya ada yang lebih tajir dari aku."
Ares langsung menghindar sambil tergelak saat Andi hendak memberinya pukulan bercanda. "Heh! Kamu bisa punya yang lebih-lebih dari ini ya! Masih heran aja aku, kenapa kamu segitu nggak maunya ninggalin tuh apartemen. Seenggaknya, pindah unitlah, Ar. Yang lebih luas—"
"Nggak usah bahas itu. Sampai berbusa pun mulut Mas Andi, aku tetap bakal tinggal di sana. Yang penting, kan, udah diatur Mas Andi untuk selalu aman." Ares lalu kembali memakai maskernya. "Ayo, sarapan. Aku lapar."
"Hadeh! Udah punya asisten, masih ada nempel ke aku." Lesu, Andi bergegas meraih jaket dan maskernya. "Kamu yang nyetir deh. Hari ini, kan, waktunya aku libur."
"Iya, iya." Baru Ares akan melangkah ke pintu utama rumah Andi, ponselnya berdering. Bergegas, lelaki itu merogoh saku celana dan menjawab panggilan dari sang bunda. "Halo?"
"Adek, pulang hari ini! Abang meninggal!"
***
Ares terburu-buru keluar dari mobil yang terparkir asal di istana kedua orang tuanya. Seraya berlari-lari kecil, ia memasuki bangunan bergaya Eropa klasik itu upaya mencari sang bunda.
"Ares? Kapan pulang, Nak? Kok nggak ngabarin?"
Ares langsung menoleh dan menemukan sang ayah yang baru muncul dari dapur. Di tangan pria itu terdapat secangkir kopi yang asapnya masih mengepul. Tanda jika Hadyan sedang ingin bersantai.
"Yah, Bunda mana?"
"Jangan bilang kamu jauh-jauh ke sini karena kabar dari Bunda ya?"
Ares hanya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
Любовные романыBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...