Untold 48

2.6K 460 35
                                    

"Jannah, my dear!"

Usai melepaskan masker, Jannah membiarkan Rumi memeluk dan mencium kedua pipinya. "Apa kabar, Tan?"

"Baik." Rumi tersenyum lebar. "Mouna nggak diajak?"

Jannah menggeleng. "Dia di rumah sama baby sitter. Aku kebetulan lagi ada meeting di Karawaci, jadi mampir ke sini. Berhubung waktu itu kita nggak jadi ketemu."

"Oalah ..." Rumi manggut-manggut. "Tante nggak ganggu waktu bu bos, kan?"

Jannah terkekeh. "Nggak dong. Lagian, aku yang mau ke sini. Semenjak ada Mouna, aku bawaannya pengin pulang terus. Jadi, berhubung lagi di dekat rumah Tante, aku mampir deh."

Rumi mengembuskan napas mendengarnya. "Tapi maaf ya, Jan. Om lagi nggak di rumah. Si Ares juga belum balik-balik ke sini. Tante sendirian doang sama si kakak." Wanita itu lantas memanggil-manggil nama Pevita, dan tidak lama kemudian muncullah makhluk berbulu putih berkaki empat datang menghampirinya. "Cuma kakak sekarang yang nemanin bundanya semenjak si adek makin sibuk!" gerutunya begitu kucing tersebut telah berada dalam gendongannya.

Jannah pun hanya tertawa mendengarnya.

"Eh, ayo masuk! Tante sampai lupa nyuruh kamu duduk saking semangatnya." Rumi terkikik geli. "Mau minum apa, Sayang? Atau mau makan siang yuk sekalian sama Tante. Jannah udah makan?"

"Boleh deh. Aku belum makan kok."

"Haduh, haduh! Udah jam segini, belum isi perut tuh gimana? Kamu masih nyusuin Mouna, kan?" Rumi tersenyum manis saat Jannah mengangguk. "Kayaknya ikatan batin kita kuat, Jan. Tante kebetulan masak sayur daun katuk tadi."

"Makasih, Tan. Senang rasanya rumah ini selalu hangat buat aku."

"Selalu!" tegas Rumi, dari lubuk hati terdalam.

***

Sandara sedang melamun di balkon apartemen Ares saat silir angin malam membuatnya bergidik, kedinginan. Tapi tidak lama kemudian, sebuah jaket tersampir di kedua bahunya, disusul dengan kedua lengan yang memeluknya dari belakang.

"Lagi mikirin apa?"

Sandara mengembuskan napas saat napas Ares yang kini menumpukan dagunya pada pundak perempuan itu, menerpa kulit lehernya. "Pertemuan besok."

"You don't have to worry about it," bisik Ares.

"I can't." Lalu perempuan itu melepaskan diri dari Ares dan memutar tubuh, menghadap lelakinya. "Aku sama kamu dari kalangan yang beda. Aku sama kamu ... beda."

"I told you. It doesn't matter."

"It's you. Not your mom and your father. What will they think about me?"

"San—"

"I can't lose you anymore."

"Baby, calm down." Ares menangkup rahang Sandara dan menunduk demi menatap lurus kedua mata perempuannya. "Bunda aku nggak seperti yang kamu bayangin. Oke?"

"I'm trying to be realistic," kilah Sandara.

"Mau tahu kisah tentang bunda dan ayah aku dulu supaya kamu tenang?" Ares tersenyum saat Sandara terdiam mendengarkannya sekalipun tidak mengangguk. "Mereka juga dulu dari kalangan berbeda. Bundaku bukan orang terpandang."

"Seenggaknya, beliau punya keluarga." Sandara menunduk. "Sedangkan aku cuma perempuan yang nggak jelas asal usulnya."

"Can you please stop saying bad things about yourself?" Ibu jari Ares mengusap pipi Sandara. "It hurt me."

The Truth Untold #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang