"Good morning, Sleeping Beauty," sapa Jannah sekaligus menyindir.
Ares hanya tertawa kecil sambil menduduki kursi di seberang Jannah. "Selamat siang juga, Mahmud," balas Ares sambil melepaskan maskernya, seperti Jannah. Meski begitu, ia tidak melepas topi yang dikenakannya agar tidak terlalu mengundang perhatian.
Sebelah alis Jannah yang tertata rapi pun menukik. "Mahmud?"
"Mamah muda." Lelaki itu tersenyum puas melihat Jannah hanya mendengus. "Moana nggak ikut?"
"Mouna!" Jannah berdecak. "Ganti-ganti nama anak orang aja."
"Sori," ringis Ares. "Lo belum pesan?" tanyanya saat menyadari meja yang keduanya tempati masih kosong dari makanan maupun minuman.
Jannah menggeleng. "Lo aja. Anak sama suami gue udah nungguin di rumah. Gue nemuin lo cuma pengin bahas suatu hal. Tapi kalau lo mau sambil makan, silakan."
"Buru-buru nih ceritanya?"
Kali ini Jannah yang meringis. "Gue udah keluar dari kurang lebih satu jam yang lalu soalnya."
Ucapan Jannah pun membuat Ares mengernyit. "Oh iya? Ke mana?"
"Nemuin orang juga."
"Ah ... oke?" Ares manggut-manggut samar. Kemudian ia menarik bangkunya lebih maju dan menumpukan kedua sikunya di atas meja. "So, apa yang lo mau omongin sampai rela ninggalin anak dan suami lo di rumah, hmm?"
"Bukannya lo udah tahu?"
"Beneran soal Meera?" Lelaki itu lantas menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. "Kenapa dia? Gue pikir, lo udah cerita soal Sandara ke dia."
Dugaan Ares ternyata terbukti. Sejak berpapasan dengan adik sepupunya tersebut, lelaki itu memang sudah memperkirakan pertemuannya dengan Jannah ini. Namun, seperti yang Meera bilang sendiri bahwa sang kakak sudah memberi tahunya akan sosok Sandara. Bukankah harusnya permasalahan telah selesai?
"Ini tentang Daemon."
Ares mengernyit. "Daemon?"
"Pacarnya Meera. Atau setidaknya, begitu hubungan mereka yang gue tahu." Jannah mengangkat bahu, mengingat kondisi terkini Meera sedang menjaga jarak dengan Daemon.
"Gue tahu Daemon. Pernah ketemu juga walaupun belum kenalan. Tapi kenapa lo bahas dia?" Ares melemparkan tatapan khawatir. "Dia nggak macam-macam, kan, sama Meera?"
"Berhenti mikirin orang lain, Ar. Satu-satunya yang perlu dikhawatirin adalah elo," tukas Jannah tiba-tiba, membuat Ares berjengit di tempatnya.
Menyadari jika pembicaraan mereka akan mengarah pada hal yang "itu-itu" lagi, Ares mendengus. "Jan, kita udah bahas tentang ini waktu itu. Nggak ada yang perlu dikhawatirin karena Sandara bukan Sabrina!" jawabnya, mulai kesal.
"Daemon punya alibi yang kuat!"
Ares memutar mata. "Daemon lagi. Siapa sih dia? Kenapa tiba-tiba masuk ke permasalahan ini?!" Intonasinya mulai meninggi.
"Ask her! Dia yang harusnya paling tahu soal Daemon," ucap Jannah dengan bibir menipis.
Ares memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut. "Gue nggak mau ribut sama lo, Jan."
"Nggak ada yang mau ribut, Ar!" balas Jannah, gemas. "Gue cuma nggak mau ada korban—"
"Korban, korban apa?!" Suara Ares mulai membuat beberapa pasang mata pengunjung lain menoleh ke arahnya. Tidak ingin ada yang menguping, Ares pun berusaha melanjutkan dengan lebih tenang. "Gue udah pernah kasih bukti ke elo. Terlepas dari apa yang Daemon bilang, Sandara bukan Sabrina."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomantizmBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...