Untold 9

2.1K 507 27
                                        

"HAH?!"

Andi sampai nyaris menginjak pedal rem mendadak saking terkejutnya. "Apa sih kamu, teriak-teriak aja!"

"Lagian Mas Andi aneh-aneh aja!" Ares menurunkan maskernya karena tiba-tiba saja ia merasa oksigen di sekitarnya menipis. "Mas, Sandara itu asisten rumah tanggaku."

"Heh, sejak kapan kamu ngelihat status orang?" Andi melemparkan tatapan heran padanya sebelum akhirnya kembali fokus pada jalanan di depan. "Ingat nggak, kamu pernah cerita kalau kedua orang tua kamu juga dari kalangan berbeda? Lagian, kenapa kamu harus take it personally deh, Ar? Duh, macet lagi!" keluh Andi, lantas menarik rem tangan.

"Look, Ar ..." Andi sedikit memutar badan menghadap Ares di sampingnya. "Aku, kan, nggak nyuruh kamu pacaran beneran sama dia. Aku cuma saranin kamu buat pura-pura. Itu pun cuma kayak ... ya jalan aja gitu. Seenggaknya, paparazzi pernah nangkap kamu jalan sama perempuan," ujar lelaki itu panjang lebar, lalu kembali mengendarai mobil Ares saat kendaraan roda empat di depannya mulai melaju perlahan.

Ares berdecak seraya membuang muka ke arah jendela. Sial! Ia belum sempat mencari tahu sendiri tentang siapa Sandara. Ia belum bisa memastikan jika perempuan itu "aman" untuk dilibatkan dalam hidupnya.

"Ar, jujur ya. Aku pernah nangkap kamu lagi ngelihatin Sandara lama banget lho. Aku pikir, kamu bakal nggak masalah sama ide ini."

Ares langsung menoleh cepat pada Andi. "Ngelihatin?"

Andi manggut-manggut tanpa melirik Ares. "Dia juga kelihatannya baik. Baik banget malah. Sopan, terus juga hasil kerjanya selalu maksimal, masakannya enak ..."

Ares mengerling tajam. "Kenapa nggak Mas Andi aja yang pacarin dia?"

"Dih?" Andi tersenyum usil. "Cemburu ya?"

"Ih, apaan!" sewot Ares, dari lubuk hati terdalam.

Respons Ares yang tidak dibuat-buat pun membuat Andi mengembuskan napas. Sepertinya ia salah menduga. Ares bukan tertarik pada Sandara in a good way. "Kamu kok kayak gitu sih, Ar? Bukannya kamu sendiri yang pengin Sandara jadi asistenmu?"

"Khilaf," jawab Ares seadanya.

"Yaaah. Kandas deh harapan bunda kamu dapatin mantu kayak Nike Ardilla."

"Astaga, Mas! Perempuan rambut pendek nggak cuma dia!"

"Kalau ada, memangnya kamu mau?" Andi mengibaskan tangannya yang terbebas dari roda kemudi sejenak. "Nggak mungkin!"

Cukup lama atmosfer di dalam mobil diisi dengan keheningan. Andi sibuk pada macetnya Jakarta hari ini, sedangkan Ares sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga kendaraan itu memasuki basement apartemen Ares, di sanalah Andi kembali memecahkan kesunyian.

"Aku masih bingung kenapa kamu nggak mau pindah apartemen yang lebih besar, Ar. Kalau perlu ke apartemen sepupu kamu tuh," celoteh Andi, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Apa lagi kalau bukan Ares yang tidak suka berada di tempat luas seorang diri? Hal tersebut akan membuat sang aktor merasa kesepian. Ares juga menganggap apartemen tersebut menjadi salah satu "saksi" dari kesuksesannya.

Namun, entah mengapa Andi merasa ada alasan lain yang jauh lebih bermakna bagi Ares sendiri.

"Oke, aku setuju sama ide Mas Andi," ucap Ares tiba-tiba, tanpa menanggapi omongan Andi sebelumnya.

Andi yang sedang memarkirkan mobil Ares pun menoleh dengan kedua mata berbinar. "Serius kamu, Ar?" Lalu ia menyentuh kening lelaki yang lebih muda darinya itu dengan punggung tangan. "Kesambet?"

"Aku serius." Ekspresi Ares tidak menunjukkan jika ia sedang bergurau atau mengigau sama sekali. "Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

The Truth Untold #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang