Ares pikir, keadaan Sandara sudah membaik. Namun, sepanjang perempuan itu menemani Ares setelahnya, Sandara malah jadi lebih sering melamun. Bahkan hingga mereka sudah dalam perjalanan pulang pun, Sandara masih senantiasa sibuk dengan pikirannya.
Kemunculan lampu merah yang cukup lama menjebak mobil Ares pun dimanfaatkan lelaki itu dengan menaruh perhatian pada Sandara.
"San, kamu masih takut soal tadi?" Kemudian Ares melayangkan tangan kirinya pada puncak kepala Sandara dan memberi usapan lembut. "Jangan khawatir, oke? Dia sama Meera. Aku yakin, dia cowok baik-baik."
Sandara menunduk dan meremas jemarinya di atas pangkuan. Ya, memang sangat baik. Saking baiknya, pemuda itu rela mengorbankan dirinya sendiri agar gadisnya terhindar dari kecelakaan.
Insiden yang secara tidak langsung disebabkan olehnya.
Sandara memejamkan mata. Ia masih mengingat peristiwa beberapa bulan lalu di mana dirinya ingin berkunjung ke makam Sabrina dan secara tidak terduga, perempuan itu justru berpapasan dengan sosok yang tidak ia harapkan kemunculannya.
Si bungsu Salim.
Sandara tahu, dirinya dalam bahaya. Tidak ingin posisinya terancam, Sandara pun berusaha kabur dari Meera yang mencoba menahannya. Tapi kebencian gadis itu memang sudah meluap-luap pada Sabrina sehingga sosok berambut merah tersebut tidak membiarkan Sandara melarikan diri begitu saja.
Kecelakaan pun tidak dapat dihindari. Sandara terkejut bukan main saat dirinya lagi-lagi menjadi alasan dari tangis Salim. Ya, Daemon telah melindungi Meera dari hantaman sedan yang melaju kencang ke arahnya.
Ulu hati Sandara benar-benar merasa nyeri memandangi dari kejauhan adegan yang sungguh memilukan. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun. Ia hanya ikut menangis bersama Meera di tempat yang berbeda. Tempat yang semakin jauh dari keduanya yang mulai mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit.
Setelah itu, Sandara tidak lagi mengetahui kabar Daemon hingga hari ini.
Tidak dipungkiri memang jika ia sungguh lega melihat kondisi Daemon yang terlihat sehat sejak berbulan-bulan mencemaskan keadaan pemuda jangkung tersebut tanpa mampu menceritakan kegelisahannya pada siapa pun. Namun, ia tidak berekspetasi jika pertemuan mereka akan seperti ini. Di situasi yang lagi-lagi tidak terduga. Di waktu yang belum matang bagi Sandara.
Perhatian Ares lantas terusik sejenak dengan keberadaan pedagang asongan yang menawarkan minuman. Merasa butuh, Ares pun menurunkan setengah kaca jendela mobilnya dan kembali menutup usai transaksi selesai. Terlebih dulu ia membukakan tutup botol air mineral tersebut sebelum akhirnya memberikannya pada Sandara. "Here. Biar kamu lebih tenang."
Meski masih senantiasa bergeming, Sandara tetap menerima dan menenggaknya. Melihat hal itu, Ares tersenyum lega.
"A-aku ..." Sandara mencoba bersuara untuk pertama kalinya sejak ia duduk dalam kendaraan milik Ares. "Kayaknya, aku nggak bisa nemanin ke HS lagi."
Ares mengembuskan napas mendengarnya. "Karena Daemon? Cowok tadi?"
Sandara menatap Ares dari balik bulu matanya. "Cewek yang tadi juga ..." Perempuan itu menelan ludah sejenak. "Dia kayak benci sama aku," lanjutnya, lirih.
Mau tidak mau, Ares mengakui. Meskipun suara dan sikap Meera sudah diusahakan gadis itu untuk tetap tenang, Ares masih bisa melihat amarah di kedua mata adik sepupunya.
Mendapati Ares terdiam, Sandara pun semakin takut. Jika lelaki itu saja meragu, bagaimana hubungan ini bisa bertahan? Apakah hanya dirinya yang berharap di dalam semua ini?
Bunyi klakson beberapa kendaraan di belakangnya pun membuat Ares kembali memusatkan pandangan pada jalan di hadapannya dan mulai tancap gas. Sandara pikir, Ares tengah memanfaatkan situasi untuk menghindar. Ternyata tidak.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
Roman d'amourBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...