Omelan Andi pagi hari itu menjadi alarm bagi Ares untuk bergegas bangun dan menghampiri sang manajer yang tampak sedang menyapu.
"Haduh, muka doang dirawat. Apartemennya sendiri nggak!" Lalu sudut matanya menangkap Ares tengah berdiri di ambang pintu kamar dengan tatapan dingin. "Ekspresi kamu itu, lho. Bikin aku takut!" lanjut Andi, sedikit bernada jenaka. Tapi sedetik kemudian Andi menyadari jika sang aktor benar-benar marah padanya.
"Manajer Katy itu ... bukan Sandi, kan?"
Gerakan menyapu Andi pun terhenti. Lelaki itu tidak mampu bersuara hingga aksi bisunya membuat Ares semakin merasa dikhianati.
"Aku cari dia setengah mati dan Mas Andi tahu keberadaannya?"
"Ar, aku cuma ngelakuin apa yang dia minta. Itu haknya. Aku tahu penderitaannya selama ini," jelas Andi.
Ares terkesiap mendengarnya. "M-Mas Andi tahu soal—"
"Iya." Andi mengembuskan napas berat. "Dia cerita semuanya sama aku di hari kamu ngusir dia dan mabuk."
Tatapan Ares semakin menampilkan kilat kecewa. "Kenapa Mas Andi nggak kasih tahu aku? Mas Andi kerja buat aku, kan? Mas Andi masih jadi orang yang aku percaya, kan? Mas Andi ..." Kedua matanya mulai berkaca. "Anggap aku adik Mas sendiri, kan?"
"Justru karena aku anggap kamu sebagai keluarga, Ar. Aku nggak mau manjain kamu dalam hal pribadi, cukup pekerjaan."
"Maksudnya?"
"Aku tahu siapa di balik alasan kamu suka sama aroma lavender dulu. Sandara cerita." Andi menggeleng-geleng. "Bukan pengusiran kamu yang ngebuat dia sakit hati, Ar. Tapi kenyataan kalau kamu masih cinta sama istri sepupu kamu sendiri di saat kamu udah berhubungan terlalu jauh sama dia."
"Sok tahu." Ares mendengus. "Kisah aku sama Laras udah selesai sejak lama."
"Terus kenapa kamu bawa-bawa nama Laras saat itu?" Andi berdecak. "Udahlah, Ar. Bukan aku orang yang perlu dengarin penjelasan kamu. Tapi maaf, aku nggak bisa ngebuat kamu ketemu dia. Aku cuma bisa berdoa, semoga takdir mempertemukan kalian kembali kalau memang jodoh."
***
Gue pindah ke Jakarta. Mau ketemu?
Tentu saja Laras tidak menyianyiakan kesempatan tersebut. Berhubung Azka sedang sekolah luring alias luar jaringan (offline), perempuan itu pun mengiyakan ajakan Sandara yang diterimanya melalui pesan singkat.
Di sinilah ia sekarang. Duduk di berhadapan dengan Sandara di sebuah coffee shop, membahas segala hal yang menurut keduanya menarik. Mulai dari Azka, dunia kepenulisan, dunia hiburan, hingga Ares.
Kedua mata Laras berbinar mendengarnya. "Lo ketemu Ares?" Perempuan itu lantas tersenyum manis saat Sandara mengangguk. "Jodoh emang nggak ke mana ya."
Sandara mendengus sambil meraih cup coffee-nya. "Nggak ada semenit."
Laras menelengkan kepala. "Maksudnya?"
"Gue langsung minggat dari sana pas dia ditarik sama CEO agensi." Sandara menyesap kopinya sejenak dan mendesah kecil. "Gue benar-benar nggak tahu harus bereaksi gimana, Ras. Di satu sisi, gue udah pasrah sama alur kisah gue. Gue seakan siap berhadapan sama dia. Tapi di sisi lain, gue juga takut."
"Takut apa?"
"Takut kalau pencarian dia selama ini cuma karena merasa bersalah." Bukan rindu, lanjut batin Sandara.
"Gue bukan peramal, tapi gue tahu banget tatapan dia pas nyariin elo, San. Selama gue kenal Ares, dia nggak pernah sefrustrasi itu dan nunjukin kelemahannya sama orang lain," ujar Laras, lantas menangkup punggung tangan Sandara di atas meja. "Gue minta maaf ya? Nggak seharusnya lo ada di posisi begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomanceBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...