Sandara sedang mengagumi keindahan pemandangan kota dari jendela besar griya tawang saat Daemon menghampiri perempuan itu dan memberikannya segelas air.
"Ini minum dulu."
Sambil berterima kasih, Sandara menerimanya. "Meera ke mana?" tanyanya, usai terlebih dulu menenggak minumannya hingga setengah habis.
Begitu Jannah harus pulang karena mendapati telepon dari baby sitter-nya yang mengabarkan jika Mouna tiba-tiba saja demam dan Laras yang harus menjemput Azka di rumah teman sekolahnya dengan diantar supir seperti biasa, Meera juga mendadak pamit dari ruang keluarga kediaman Salim sambil berlari kecil. Tampak begitu terburu-buru.
"Di toilet. Sakit perut katanya ..." Daemon berdeham kecil. "Kak San," lanjutnya, canggung.
"Panggil Sandara aja nggak apa-apa."
Pemuda itu menggeleng. "Nggak sopan."
Daemon memang sempat dilanda kebingungan. Di satu sisi, memanggil "kak San" mengingatkannya akan sosok Sandara asli yang selama ini ia kenal. Namun, di sisi lain tanpa embel-embel 'kakak' membuatnya terkesan kurang ajar.
Mendengar jawaban tersebut, Sandara pun tersenyum. "Aku hampir nggak percaya kamu tumbuh di lingkungan yang sama kayak 'Sabrina'. Kalian benar-benar berbeda."
Ya, semua telah sepakat untuk menghargai Sandara dengan tetap memanggil 'monster' dalam kehidupan Salim sebagai "Sabrina" dan perempuan itu sebagai "Sandara". Seperti yang sang kembaran inginkan...
Mati dan dikenang sebagai Sabrina.
Daemon mengembuskan napas. "Aku emang jadi yang terlemah dulu. Aku kayak lahir untuk ditindas."
"Nggak."
Daemon mengernyit saat Sandara menggeleng seolah menampik kenyataan yang pemuda itu katakan. Baru ia akan membuka mulut, Sandara kembali melayangkan pandangan ke arah pemandangan gedung-gedung di depan dan berujar, "Semua itu nggak benar, Dae. Dia yang udah ngebuat kamu seolah-olah butuh dia."
Daemon terkesiap. "M-maksudnya?"
***
Sabrina mengusap peluh yang mengucur melalui pelipisnya saat terik matahari kian memanas dan semakin membuatnya ingin menyerah mencari pekerjaan.
Tapi tidak mungkin! Ia sudah tidak memiliki siapa pun. Semua telah pergi meninggalkannya. Sabrina harus berjuang sendiri demi kelangsungan hidup.
Merasa lelah, Sabrina memutuskan untuk beristirahat sejenak dengan duduk lesehan di bawah pohon rindang di samping trotoar. Namun, baru dirinya akan memejamkan kedua mata sejenak, sepasang sepatu hitam tiba-tiba muncul di hadapan dan membuatnya sontak mendongak.
Apa ia sedang bermimpi?
Sabrina refleks mengucak mata saat merasa penglihatannya keliru. Sayangnya, sosok itu tidak berubah. Wajah itu tidak berubah.
Itu adalah dirinya. Dalam versi lain.
Terkejut, Sabrina pun terbangun dan berhadapan langsung dengan perempuan yang sangat persis, mirip, sama, dan menyerupainya. Yang membedakan hanya penampilan mereka.
Melihat kebingungan di wajah Sabrina, sosok bak pinang dibelah dua dengannya itu tersenyum miring. "Hello, Sister."
***
Daemon memang tahu jika 'Sabrina' pernah menemui Sandara tanpanya dan tanpa sepengetahuannya, tapi pemuda itu tidak menduga jika ketidakterlibatannya ternyata justru 'melibatkannya'.
Sejak awal.
Daemon menunduk dalam, menyadari dirinya juga merupakan korban dalam hal ini. Sabrina bukan saja monster dalam kehidupan Salim, melainkan semua di sekitar perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomanceBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...