Tapi ia tetap tidak bisa!
Sandara sudah berhasil untuk bangun tepat waktu. Namun, macetnya Jakarta memang tidak dapat diprediksi! Sandara tidak bisa menepati janjinya.
"Telat lagi?"
Sandara tertegun. Ia pikir Ares sedang tidak ada di apartemen atau masih tertidur. Tapi lagi-lagi dirinya menemukan jam dinding di ruang tamu telah menunjukkan pukul 09:46 WIB.
"M-maaf, Tu—"
"Saya nggak mau dengar permintaan maaf kamu," potong Ares sebelum Sandara membungkuk sempurna. "Saya ada aja kamu berani menyepelekan, gimana kalau saya lagi nggak di sini? Jangan-jangan kamu datang dan pulang seenaknya?" tuduh lelaki itu dengan sebelah mata menyipit.
"Demi Tuhan, Tuan, saya selalu tepat waktu." Sandara membantah dengan suara sedikit bergetar. "Saya baru pindah kemarin ke tempat yang lebih jauh—"
"Itu masalah kamu," tukas Ares sambil melangkah mendekat. "Dengar, kalau sekali lagi saya lihat kamu meremehkan kehadiran saya sebagai tuan rumah di sini, saya pecat kamu."
Mendengar ancaman itu, sontak Sandara jatuh berlutut di hadapan Ares dengan menyatukan kedua telapak tangannya. "Jangan, Tuan! Saya janji, saya besok akan datang lebih awal. Hari ini saya bakal kerja sampai malam kalau perlu. Saya mohon. Saya butuh pekerjaan ini," ujarnya panik. Napasnya pun terdengar memburu hingga masker yang dikenakannya tampak kembang-kempis.
Sandara tidak berbohong. Perempuan itu memang butuh pekerjaan ini untuk membiayai kehidupan barunya karena mencari pekerjaan di masa pandemi seperti ini dengan upah yang masih terbilang "manusiawi" tidaklah mudah.
Meski gajinya sebagai ART seorang aktor ternama seperti Ares tidak jauh berbeda dari yang sebelum-sebelumnya alias tidak besar, setidaknya ia tidak mendapatkan kekerasan berupa fisik dan verbal seperti yang dilakukan para mantan majikannya. Dan Sandara paham, apa yang Ares sekarang lakukan padanya murni akibat keteledorannya sendiri. Lelaki itu bukan mencari-cari kesalahannya seperti yang sudah-sudah. Tuannya berhak marah.
Sementara itu, Ares justru terkejut mendapati reaksi Sandara yang tidak terduga. Ia hanya ingin menggertak perempuan di hadapannya ini. Ia ingin menunjukkan bahwa di tempatnya, di wilayahnya, ialah yang berkuasa. Ia ingin disegani. Secara tidak langsung, ia ingin mengatakan jika pribadinya kuat dan tidak dapat dimanipulasi.
Ya, jika benar sosok tersebut adalah sang monster yang masih setia dengan penyamarannya. Namun, bagaimana jika bukan? Bagaimanapun, Ares belum memiliki bukti apa pun.
Dan pemikiran itu menyadarkannya.
"Bangun," titah Ares.
Bergegas, Sandara bangkit dari posisinya meskipun kepalanya masih tertunduk dalam. Kedua tangannya bahkan menggenggam erat-erat tali sling bag di depan dada hingga buku-buku jemarinya memutih. "Sekali lagi saya minta maaf, Tuan."
"Nanti siang, tolong masakin sesuatu buat saya. Bisa?" Ares memberikan perintah tanpa mengindahkan ucapan Sandara barusan. "Saya mau makan di sini."
"Bisa, Tuan," jawab Sandara cepat, lagi-lagi sambil membungkuk.
"Berhenti ngelakuin itu," tukas Ares dengan bibir menipis. "Saya nggak suka."
"Oh?" Sandara meneguk ludah. "B-baik, Tuan."
Begitu Ares telah berlalu, Sandara tidak menunda-nunda lagi untuk bergegas melakukan tugasnya. Terlalu sibuk memulai pekerjaan hingga tidak menyadari sosok Ares di kejauhan yang terlihat memperhatikannya.
Ares tahu, sungguh kekanakan rasanya bila ia membenci perempuan itu hanya karena "mirip" dengan masa lalu kelam para sepupu tersayangnya. Tapi ia belum bisa memastikan betul apakah dirinya dalam ranah "aman" atau tidak sehingga perlu berhati-hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomantizmBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...