Kedatangan aktor tampan itu langsung menarik perhatian dan disambut baik dengan para karyawan butik. Sambil melangkah ke arah ruangan di mana pemiliknya berada, Ares mengamati interior butik yang kian luas dan tampak berkelas. Di balik maskernya, Ares tersenyum simpul. Ia senang melihat segala sesuatu berkembang baik ketika berada di tangan orang-orang terdekat.
Tidak butuh waktu lama bagi Ares sampai di ruangan Jannah yang langsung tersenyum manis melihat kedatangannya.
"Makin oke aja ini butik," puji lelaki itu sambil duduk di sofa saat Jannah mempersilakannya. Lantas ia melepas maskernya sebagaimana Jannah. "Bentar lagi mendunia kayaknya."
Jannah tertawa. "Lebay."
"Serius. Udah mirip butik-butik yang pasarnya artis ternama."
"Iya, elo." Jannah mendengus geli. "Nyokap yang renovasi pas gue lagi hamil gede. Tadinya pengin dipakai modalnya untuk bayar lo jadi model di sini, tapi nggak jadi."
Sebelah alis tebal Ares menukik. "Terus maksudnya gue ke sini apa?" Lelaki itu menyandarkan punggungnya. "Gue pikir mau dijadiin brand ambassador ini butik."
Jannah meringis. "Sori buat lo kecewa. Gue cuma mau bahas sesuatu." Kemudian ia meletakkan amplop cokelat pada meja selutut yang menjadi pembatas keduanya. "Here. Check this."
Ares sama sekali tidak menaruh curiga apa pun. Ia pikir, Jannah akan menawarkan hal lain yang masih menyangkut profesinya. Namun, dugaannya salah besar.
Ares mengernyit mendapati selembar kertas dengan gambar sebuah logo di atasnya. Sebuah gambar yang begitu familier baginya.
Tato Sandara.
"Pernah lihat?" Jannah yang sejak tadi tidak sedikit pun mengalihkan perhatiannya dari Ares pun menelengkan kepala. "Seems like you already know what it is."
Ares masih bergeming dengan tatapan tertuju lurus pada lembaran di tangan. Jannah pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memberi penjelasan, "Ar, gue tahu Sandara punya tato gambar itu di punggungnya, kan? Sekalipun dia menghindari gaun yang gue kasih, gue nggak bodoh buat paham kalau dia sengaja nyembunyiin sesuatu yang penting di sana. Dia bukan Sandara yang lo selama ini lo kira! Dia kakaknya Daemon. Dia orang yang harusnya lo jauhin! Orang yang udah ngontrol Sabrina buat ngehancurin semua orang dulu ..."
"Jadi, semua cuma permainan," gumam Ares yang membuat Jannah berhenti bicara.
"Pardon?"
Ares menoleh kesal. "Semua yang terjadi kemarin. Permintaan maaf lo, hadiah buat Sandara, semuanya cuma permainan lo, Jan?" Lelaki itu menggeleng sambil menatap Jannah tidak percaya. "Gue pikir lo tulus."
"Ar, lo dengar nggak sih apa yang gue bilang barusan?!" Jannah mulai tersulut amarah. Ia benar-benar benci akan fakta bahwa Ares sudah berhasil dimanipulasi oleh Sandara. "She related to that monster! Don't you get it?!"
Ares tidak menjawab. Seakan menjadi orang yang keras kepala, lelaki itu justru bangkit dan meninggalkan ruangan Jannah begitu saja.
Masih tercengang karena Ares mengabaikannya dan tidak memedulikan ucapannya, Jannah hanya menatap pintu di mana Ares menghilang dengan perasaan kacau. Sambil menyugar rambut panjangnya, perempuan itu mendesah frustrasi.
"God! What should I do?" bisik Jannah pada dirinya sendiri. Ia sampai menggigiti kuku saking bingungnya. Ia merasa bersalah pada Ares karena sudah merencanakan permainan begitu lama untuk membuat segalanya terungkap.
Sampai sepupunya terasa benar-benar jauh.
Tapi Tuhan memang baik. Baru saja Jannah menyebut-Nya untuk memberikan ia clue, tiba-tiba saja muncul notifikasi di ponselnya. Direct message dari akun bunda Ares yang membalas Instastory-nya yang memperlihatkan foto Mouna sedang belajar makan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomanceBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...