Untold 47

2.6K 539 43
                                    

Laras sedang sibuk mengetik saat mendengar embusan napas berat dari Sandara. Kepalanya yang sejak tadi menunduk, berkutat lurus pada laptopnya, sontak terangkat dan mengalihkan perhatian pada perempuan di hadapannya.

"Bosan ya? Kalau mau pulang nggak apa-apa kok."

"Oh, nggak." Sandara segera menggeleng hingga rambut pendeknya berayun. "Gue cuma lagi mikirin sesuatu."

Laras mengernyit. "Mikirin apa?"

Keduanya memang memutuskan untuk bertemu untuk sekadar mengobrol seperti biasa. Namun, karena Laras memiliki hutang naskah pada pembacanya yang harus selesai di bulan ini juga, perempuan itu pun mengatakan pada Sandara jika pertemuan hari ini dirinya harus sambil mengerjakan kewajiban.

Dan Sandara tidak masalah sama sekali. Bahkan saat Laras menyarankannya untuk pulang duluan, perempuan itu menolak karena memang Ares sedang sibuk meeting bersama Andi di gedung HS.

"Masa depan gue dan Ares." Sandara mengalihkan pandangan pada pemandangan di luar dari lantai 2 kafe yang tengah mereka kunjungi, membiarkan Laras hanya mampu mengamati profil wajahnya. "Gue belum jawab apa-apa pas dia lamar gue."

"Lo nge-gantungin dia?"

Sandara mengangguk kecil. "Begitulah."

Kali ini Laras yang menghela napas. Ia memang sudah mendengarkan kisah Sandara. Dari bagaimana perempuan itu mengizinkan Ares kembali ke sisinya, hingga ajakan sang aktor ternama untuk menikahi Sandara. "Gue bingung gimana responsnya. Di satu sisi, gue tahu posisi lo nggak mudah. Lo pasti takut Ares bakal"

"Ngulangin hal yang sama?" potong Sandara, lantas menggeleng. "Bukan itu yang gue takutin, Ras. Sori ngecewain lo, tapi Ares udah benar-benar move on, Bunda."

Alih-alih tersinggung, Laras justru tertawa mendengarnya. "Iya, iya. Dasar pisces. Cemburuan."

"Dasar cancer. Gampang luluh, mudah maafin orang," ledek Sandara, tidak mau kalah.

"Nggak kok. Gue ada balas dendam juga."

"Iya, karena ide Jannah." Sandara membicarakan fakta.

Laras tersenyum masam dibuatnya. "Kalau gue nggak gitu, kita nggak duduk di sini berdua sekarang."

Sandara terkekeh. Laras benar, wajahnya yang sangat mirip dengan monster di masa lalu yang menghancurkan rumah tangga perempuan itu dulu. Jika Sandara jadi Laras, sekalipun dirinya tidak terlibat, dirinya tidak akan mau bertemu pandang seperti ini, apalagi menjadi "sahabat".

"Terus apa yang bikin lo takut, San?"

"Keluarganya." Wajah Sandara kembali diselimuti mendung. "Ares bagian dari Salim. Keluarga terpandang. Sedangkan gue ..."

Laras sontak menutup sedikit laptopnya agar bisa melihat wajah Sandara lebih jelas. "Gue juga bukan dari keluarga tajir kok."

"Lo penulis, Laras. Seorang penulis itu keren. Seniman. Berkarya. Ada yang dibanggain dalam diri lo."

"Semua orang punya kelebihan yang pasti bisa dibanggain dalam dirinya, San."

Sandara menggeleng lesu. "Mudah buat lo ngomong gitu—"

"Lo pikir gue udah terkenal sebelum kerja sama dengan HS? Lo pikir Lavandel June nggak pernah mulai dari nol?"

"Bukan gitu maksud gue, Ras. Tapi—"

"Kalau emang gue nggak bisa dijadiin tolak ukur, coba lihat Daemon. Dia tetap diterima kok sama keluarga Bara. Meera bisa ngeyakinin papa mama kalau Daemon pantas buat dia." Laras sedikit memajukan badannya dan menatap lurus Sandara. "San, percaya deh. Terkadang, pemikiran-pemikiran seperti itu cuma melukai diri sendiri. Padahal, kenyataannya belum tentu seburuk yang diduga."

The Truth Untold #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang